Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Selasa, 30 Oktober 2012

Kembang Peradaban: PEREMPUAN DAN SASTRA

Kembang Peradaban: PEREMPUAN DAN SASTRA: PEREMPUAN DAN SASTRA Oleh: Halimah Garnasih Jika menilik sejarah sastra di Indonesia, ada beberapa periodeisasi karya sastra yaitu angka...

Minggu, 14 Oktober 2012

JODOH ITU NASIB, CINTA ITU TAKDIR!

JODOH ITU NASIB, CINTA ITU TAKDIR!
Akhir-akhir ini aku benar-benar capek. Padahal, aku tidak melakukan apa-apa. Tak ada tugas kuliah, tugas rumah, tugas organisasi, bahkan tugas pribadi yang biasa kuplaningkan sendiri untuk diri sendiri. Semuanya libur total. Tapi aku benar-benar capek. Anda bisa membantu?
Apa mungkin karena sesuatu yang tak terlihat ini? Sesuatu yang tak bisa disentuh apalagi dipegang dengan panca indra ini? Sesuatu yang membuat diriku sang kritikus dan logis jadi kehilangan pertimbangan? Aku yang dikenal selalu lincah, cepat, dan tepat dalam setiap memutuskan dan menyelesaikan masalah menjadi kehilangan arah?
Atau jangan-jangan waktu itu telah datang? Waktu yang setiap kaki berjiwa di bumi ini pasti merasakannya? Tiba-tiba aku gemetar. Ada takut ada senang. Tapi aku masih ragu. Sehingga kucoba meruntutkan kembali peristiwa-peristiwa sebelum sesuatu ini menyerangku. Kuingat-ingat lagi setiap peristiwa, kurekam benar-benar lalu kupotret dan kupikirkan lagi. Tidak ada!. Tidak kutemukan!.
Apa mungkin ada yang terlewat?. Kuulangi lagi proses demi proses seakan aku sedang mengalami masalah dan kini sedang mencari latar belakangnya mengharap menemukan problem solving. Nihil! Bagaimana kutemukan problem solving, menemukan yang kucari saja tidak!.
Akh,, apa sesuatu yang merasukiku ini begitu misterius hingga sangat sulit diteliti dengan sikap ilmiah. Apakah yang sedang merasukiku ini memang benar-benar di luar logika, hingga otakku meronta-ronta saat kupaksa berpikir lagi dan berpikir lagi. Aku sangat capek dan nyaris putus asa. Kulemparkan badanku ke ranjang dan menutup kepala dengan bantal. Mencoba menenggelamkan diri sebentar pada kesunyian. Tidak bisa!. Sesuatu ini benar-benar serupa hantu membuatku tak bisa tenang.
Beranjak dari ranjang dan melemparkan bantal. Kubuka Google dan search engine yang lain. Kuketik beberapa kata kunci di kotak berbentuk balok yang ada pada sudut atas laman. Mataku jeli mencari-cari kata yang mulai kusangka dialah yang menggangguku. Tanganku juga bergerak-gerak lincah memencet-mencet keyboard. Kusave file-file yang ada kaitannya dengan yang kuterka dialah makhluk penggangguku.
Kubuka lemari penyimpan majalah-majalah bekas. Kukeluarkan semua. Dengan rakus dan tergesa-gesa seolah dikejar sesuatu. Kubuka tiap lembar-lembar majalah. Kukliping bagian-bagian yang kurasa mendekati pembahasan dan informasi suatu makhluk yang kucurigai dialah penggangguku.
Kubuka kitab suci agamaku, kutulis ayat-ayat yang sesuai dengan makhluk yang kucurigai adalah makhluk penggangguku. Masih kukumpulkan juga beberapa variable yang terkait dengan makhluk yang kucurigai dialah penggangguku, dari ensiklopedia, karya-karya ilmiah, karya-karya fiksi baik cerpen, novel, puisi dan semuanya. Semua kalimat yang sempat kucurigai dengan makhluk itu. Semua kata yang kucurigai berkoalisi dengan makhluk yang meraung-raung dalam diriku. Sampai pada lukisan atau simbol-simbol yang seolah ikut menertawakan kebingunganku.
Semuanya telah kudapatkan. Semuanya telah kukumpulkan. Sekarang saatnya kuurai satu-satu di atas lantai. Kuurai satu-satu. Kupisahkan dan kutata dengan rapi. Puisi dengan puisi, novel dengan novel, cerpen dengan cerpen, artikel dengan artikel, hasil penelitian dengan hasil penelitian yang lain, majalah dengan majalah, lukisan dengan lukisan, dan begitu seterusnya sampai rapi.
Selanjutnya, mataku harus jeli menangkap variable dan point-poin penting dari setiap yang terurai di atasa lantai ini. Lantas mengkait-kaitkannya, sesuatu yang kudapat dari novel dengan yang kutemukan dalam sajak, lukisan, artikel, ayat-ayat kitab suci, dan semuanya yang sekarang sedang tercecer di atas lantai.
Mataku menangkap majalah wayang, dan hatiku bergetar saat membacanya. Sebuah kalimat sunyi dari seorang dalang:
Jodoh itu nasib!
Cinta itu takdir!
Tidak! Ini jelas bertentangan dengan kepercayaan agama yang kupeluk!. Ini beroposisi biner. Jodoh itu bukan nasib! Jodoh itu takdir yang sudah ditentukan dan dipilihkan hingga tak ada satu pun manusia yang bisa menawar. Namun otakku tak bisa dibohongi. Logikaku tak bisa kutipu meski oleh diriku sendiri. Cinta itu takdir. Takdir. Ialah yang berada di balik kuasa manusia. Yah, benar. Semuanya ini di balik kuasa dan keinginanku. Logika dan hatiku seolah bersekutu menyerang ketidak percayaanku. Membunuh kesangsianku. Oh Tuhan,,,, tidak! Apa ini maksudnya.
Tidak! tidak mungkin. Entah bagian diriku yang mana yang masih saja menepisnya. Kutinggalkan dua kalimat yang sanggup menyusup hati dan logikaku itu. Membalik lembaran selanjutnya:
Cinta itu seakan iman
Cinta itu adalah iman
Iman?. Kepercayaan? Adakah cinta itu kepercayaan?. Akh aku tak menemukan logika yang cocok dengan kalimat ini. Kulentangkan tubuhku di lantai menatap langit-langit kamar. Kedua tangankku kutekuk menyangga kepala. Aku berpikir dan mengeja lirih "Cinta seakan iman, Cinta adalah iman". Mataku menyusuri langit-langit kamarku yang putih bersih. Menyapu dinding kamar yang juga putih bersih. Tepat pada dinding di depan aku berbaring, sebuah bingkai besar berisi lukisan nama tuhanku. Nama Tuhanku yang setiap kali kulihat dan setiap hari kusebut meski mataku yang kasat ini tak pernah melihatnya. Ah… kalau sudah percaya dan beriman tak perlu jua aku meragu. Meski seribu logika menyerbu bagaimana bisa aku berargumentasi untuk pembelaan keimananku pada Tuhan. Yah, meski sebenarnya jika memaksa aku bisa berargumentasi logis selogis-logisnya dan mungkin mereka akan terpana mengiyakan. Yakh,,, meski aku sendiri tak percaya keimanan bisa disandingkan utuh dengan logika. Simpel saja karena mana mungkin aku bisa mengungkapkan sesuatu yang tak terungkapkan. Mengungkapkan sesuatu yang berada diantara kata-kata dan kebisuan. Yang kasbi mengungkapkan yang sejati.
Kubalikkan badan berniat terpejam sebentar saja. Kututup kelopakku dan gelap mulai menguasai. Masih terekam lukisan nama Tuhanku. Kelopakku tersentak dan membelalak. Aku paham, apa yang dimaksud di balik kalimat di atas: Cinta seakan iman, Cinta adalah iman. Kuurungkan niat terpejam dan dengan rakus mataku kembali menelusuri yang tercecer di atas lantai ini. Sekarang, mataku tersangkut pada sebuah sajak perempuan Sufi dalam salah satu agama:
Sulit menjelaskan hakikat cinta
Ia kerinduan dari gambaran perasaan
Hanya orang yang merasakan dan hanya mengetahui
Bagaimana mungkin engkau dapat menggambarkan
Sesuatu yang engkau sendiri bagai hilang dari hadapan-Nya
Walau ujudmu masih ada
Karena hatimu gembira yang membuat lidahmu kelu.

Belum usai keterpanaanku mendapati suatu makna yang teramat dalam di balik sajak ini, tiba-tiba muncul di antara kata-kata sajak ini sebuah titik putih yang semakin membesar. Aku terkesiap bagaikan mimpi di siang bolong. Kucubiti diriku sendiri untuk meyakinkan kalau ini nyata, bukan mimpi. Aku membelalak. Titik putih itu semakin membesar dan memancarkan sinar sampai cahayanya menyapu penuh ke segala penjuru kamarku. Mataku silau dan tubuhku terpelanting ke sisi ranjang. Gelap.
Dingin. Kurasakan sesuatu yang begitu kecil tapi lembut menyentuh kelopak mataku yang sedang terkatup. Masih kurasai kepalaku yang sedikit pening. Sesuatu yang lembut dan dingin ini kembali mencolok-colok kelopak mataku, seperti menyengaja. Kubuka mataku, penasaran. Oh!!!. Aku sangat terkejut melihat sosok kecil di depan mukaku yang masih tergeletak di sisi ranjang. Kepalaku sampai kejedok kaki ranjang karena keterjutanku yang sangat.
"K-k-kau siapa?"
Sosok manusia kecil ini tersenyum melihatku yang ketakutan dan gemetaran. Dia perempuan kecil seukuran jari telunjuk orang dewasa. Mengenakan rok panjang, baju panjang, dan jilbab panjang seperti teman-teman jilbaber di kampusku. Dia tersenyum anggun tapi tak bisa mengurai rasa takutku. Kutanya lagi
"Katakan, siapa kau?" darimana kau datang dan apa maumu?!"
Sekarang dia duduk di lantai, menekuk lututnya dan mengalungkan kedua tangannya di depan kaki. Dengan pelan, aku pun berusaha bangun dan duduk di depannya.
"Aku dari sana", telunjukknya yang terlampau kecil mengarah pada sebuah buku kumpulan puisi yang sudah terbuka. Buku tempat muasal cahaya tadi.
"Namaku Rabi'ah Al-Adawiyah. Dan aku tidak mau apa-apa selain bertanya sesuatu padamu"
Aku terlongong-longong. "Maksudmu, Rabiah Adawiyah sufi perempuan yang berasal dari Bashroh itu?". Makhluk kecil itu mengangguk dan mengerjapkan matanya.
"Apa maksudmu ingin bertanya padaku?! Aku tidak mengerti".
Makhluk kecil itu bangkit. Berjalan ke kanan dan ke kiri tepat di depanku duduk bersila. Dia sungguh kecil. Jilbabnya melambai-lambai. Aneh, kenapa dia mengenakan baju ala gelintir muslimah Indonesia, bukan galabe, jubah, atau pun cadar. Pakaian yang dikenakan oleh perempuan zaman dulu di Bashroh. Seperti mengetahui kepenasaranku dia berhenti mondar-mandir lantas menjawab sambil mendongak. Dan aku semakin bingung plus takjub.
"Apa salah kalau aku berpakaian seperti ini? Jangan sok tahu tentang kebenaran yang belum kau ketahui dengan benar. Semua kebenaran di muka bumi ini hanya semu. Mungkin kau akan lebih terkejut dan tidak terima semisal aku muncul di depanmu dengan mengenakan celana." Lagi-lagi aku hanya ternganga. "Akh, langsung saja. Itu tadi tidak penting. Ada yang lebih penting dari sekadar membahas cover"
Aku semakin saja tercengang. Di balik pakaiannya yang seperti itu, dia begitu modern. Bahasa Indonesianya fasih. Siapa sebenarnya makhluk kecil di depanku ini? Adakah dia benar-benar Robi'ah yang dipuja?
"Kalau kau ragu dan tak percaya aku Rabi'ah atau bukan, itu hakmu. Yang penting adalah kau harus menjawab pertanyaanku". Lagi-lagi aku terkejut atas jawabannya. Dia tahu apa yang kubisikkan dalam hati. Dia kembali mondar-mandir seperti berpikir sesuatu. Sedang aku mulai penasaran juga. Kiranya apa pertanyaan yang harus kujawab itu sampai-sampai kekasih Tuhan ini bersedia menjumpaiku.
"Jawab pertanyaanku dengan lugas", matanya menatap mataku, wajahnya yang bersinar mulai serius.
"Kau percaya Tuhan?"
"Tentu"
"Kenapa kau percaya tuhan?"
"Banyak sekali alasannya" dia mengernyitkan dahi. "Ma'af, bukan itu maksudku. Bukan pada alasannya. Yang terpenting adalah karena aku merasakan Tuhan itu ada. Aku merasakan kehadirannya pada kehadiranku. Dan kehadirannya yang kurasakan adalah penting. Aku merasakannya"
"Benar karena itu?" matanya menyipit seolah memancing kebenaran. "Itu saja?"
Dia seolah menelanjangi hatiku yang dia tembus melewati kornea mataku. Aku menunduk lemah. Menyembunyikan mataku dari tatapannya. Kumerasakan geletar yang kuat bahwa dia tahu sekali yang aku rasakan. Aku menggeleng dan minta ma'af padanya. Ada sesuatu yang masih belum bisa aku kalimatkan. Kepercayaanku padaNya tak bisa terbahasakan. Maafkan aku.
"Kau percaya cinta?", pertanyaannya yang tiba-tiba menyentak jiwaku. Lagi-lagi dia melucuti rahasia yang terbungkus rapi. Aku mendongak kaget. Aku pernah benci sekali mendengar kata itu disebut. Benci sekali. Mungkin sampai saat ini hingga aku berusaha mencari-cari kebenaran. Oh mungkin tidak!, tepatnya aku mencari-cari bantahan bahwa ia tak pernah menyergapku karena perasaan takut diolok-oloknya. Khawatir diumpatnya. Mulutku langsung saja menjawab lirih meski nada ketusnya tak bisa kusembunyikan.
"Tidak!"
"Kau percaya cinta?", mengulang, seolah menyengaja.
"Tidak", mulai melayu.
"Kau merasakannya?"
Aku tak bisa berkata. Keheningan hadir di antara kami. Aku membisu tapi tangisanku yang menjawab. Jawaban sempurna. Tubuhku bergetar menahan tangis yang sudah mulai membuncah.
"Laila, itulah cinta. Jangan kau pungkiri. Ia juga tak bisa terbahasakan dan beralasan seperti keimananmu. Semakin kau pungkiri, semakin nyatalah ia. Kau takkan pernah bisa lari darinya. Bagaimana kau bisa lari dari takdir? Bagaimana kau bisa lari dari Tuhan itu sendiri jika kau lebur di dalamnya?"
Kutelungkupkan kedua tangan pada mukaku. Tangisku benar-benar pecah.
Dari sela-sela tanganku yang menutup mukaku, cahaya terang menyala menyeruak dari segala penjuru kamar, menyilaukan mataku yang dipenuhi air keegoan yang memenara-gading. Cahaya itu berputar-putar dan tiba-tiba dengan begitu cepat lenyap dalam keheningan. Kembali pada satu titik. Kumasih terpaku menyaksikan semuanya, dengan wajah penuh air mata. Dan entah kekuatan dari mana seolah menyelusup ke tubuhku. Makhluk kecil tadi turut lenyap bersama lenyapnya cahaya.
Jari telunjukku menegang dan menunjuk-nunjuk pada sebuah buku yang masih terbuka, buku kumpulan puisi. Aku berteriak panjang:
"Tidak! Ini bukan cinta!. Terbukti cinta sudah terbahasakan dalam syair-syairmu. Telah terungkapkan. Kemaha-dahsyatan yang membelenggu jiwa dan sukmaku ini sangat besar untuk sekedar disebut cinta. Cinta itu telah terpenjara dalam kata. Sedang yang kurasa ini tak bisa dipenjarakan dengan kata yang paling agung sekalipun.Yang Kau, hai Perempuan dari Bashroh menyebutnya cinta. Tidak! Ini bukan cinta!.
Angin kencang bergulung-gulung di dalam kamar, menerbangkan dan mengacaukan segala isinya. Karena teriakanku tak sekadar teiakan suara. Tak sekedar jeritan yang lekang, ia adalah jeritan jiwa. Jeritan sukma!








Sabtu, 21 April 2012

Lorong Ilmu

LORONG ILMU
Janji bertemu
Tapi bukan di depan menara Eiffel
Ya sudah, antara Madinah dan Australi saja, Kataku.
Kita tersenyumDan diam-diam utusan Tuhan mencatat
Dengan tinta emas

26 OKT ‘10    HibatNahwa

Malam Kartini 2012

Malam Kartini 2012

Semalam, yaitu malam tanggal 21 April saya menghadiri sebuah acara bedah buku berjudul "Awan theklek, Mbengi lemek" yang artinya Perempuan: siang menjadi alas kaki dan malam menjadi alas tidur, di yayasan LKiS Surowajan Yogyakarta. Penulisnya adalah Hersri Setiawan salah seorang yang pernah diasingkan di pulau buruh, sebagai tahanan politik tanpa pengadilan itu.  Seperti pula seorang  penulis novel yang meraih nobel karena dua jilid memoarnya, yaitu  Pramodya Ananta Toor, pada pulau yang kosong yang hanya dihuni para tapol itu, Hersri juga melahirkan kitab tebal sejenis memoar pulau Buru.

Ita, partner hidup Hersri (karena lebih suka dengan istilah partner hidup daripada istilah suami-istri) juga diminta mengomentari buku partner hidupnya itu. Ita yang merupakan istri kedua setelah 18 tahun Hersri menjadi orang tua/pengasuh tunggal putrinya yang ditinggal mati oleh istri pertamanya semenjak putrinya berumur 5 tahun, mengatakan bahwa tulisan dalam buku tersebut sarat kesadaran kemanusiaan, sarat semangat emansipasi sehingga Ita menilai dan berani menyebut Hersri sebagai seorang feminis!. Meski dalam buku tersebut tidak terdapat 'kata' apalagi 'kalimat' yang hanya sekedar menggembar-gemborkan gender atau gendar-gender. Jauh memakna daripada hanya mencuatkan diksi itu ke permukaan kertas.
Yang menarik dari paparan Ita tentang Hersri adalah paparan refleksi rumah tangganya yang diceritakan dengan begitu tulus, diceritaka dengan begitu telanjang yang mungkin bagi sebagian orang hal itu masih dianggap tabu. Diceritakan olehnya bahwa Hersri yang tak lain adalah suaminya terlihat tidak merasa rendah diri saat mencuci celana dalam dan kutangnya. Ita melihat bahwa Hersri tidak merasa kemanusiaannya turun, berkurang, atau tercederai karena mencuci pakaian dalam partner hidupnya. Saya begitu terkesiap, tercengang. Berdasarkan refleksi rumah tangga yang dipaparkan Ita, saya membaca atau bahkan tanpa canggung saya katakana: saya menilai bahwa Hersri seorang yang pernah diasingkan di pulau buruh ini adalah sosok manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan secara utuh. Konsistensi antara pemikiran, kata-kata, san sikap.. Karena rumah tangga adalah institusi kehidupan paling nyata. Rumah tangga adalah telanjang. Di luar, mungkin bisa manusia itu bertopeng, tapi dalam rumah, ya itulah manusia. Kediriannya yang memang dirinya. Bagaimana saya tidak ndomblong, di tengah pengalaman empiris saya saat ini yaitu di tengah hiruk pikuk kampus-akadmis--yang penuh dengan timbunan teori dan sikap ilmiah--, di tengah hiruk pikuk yang menyebut dirinya pergerakan, yang faktanya mengalami inkonsistensi pemikiran, perkatan, dan perbuatan juga tengah mengalami fragmentasi,  tiba-tiba hadir di depan mata yang kasat ini sebuah sosok dan refleksitas- pengejawantahan yang meruntuhkan persepsi apriori-negatif yang mulai terbentuk dalam pikiran saya. Tidak dalam mimpi saja konsistensi itu ada, Tidak dalam bayangan dan harapan saya saja kebenaran berkaki dan bertapak di bumi itu ada, meski saya sadar secara utuh bahwa hanya beberapa gelintir saja adanya. []

Halimah Garnasih

Minggu, 15 April 2012

PEREMPUAN DAN SASTRA


PEREMPUAN DAN SASTRA
Oleh:
Halimah Garnasih

Jika menilik sejarah sastra di Indonesia, ada beberapa periodeisasi karya sastra yaitu angkatan Pujangga Lama, angkatan Sastra Melayu Lama, angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, angkatan 1966 - 1970-an, angkatan 1980 - 1990-an, angkatan Reformasi dan angkatan 2000-an. Dari angkatan pertama sampai akhir 1980-an hampir seluruh penulis adalah laki-laki. Entah apakah benar belum ada penulis perempuan atau Indonesia pada saat itu masih mempermasalahkan munculnya perempuan ke permukaan.
Hasil penelitian Tineke Halwig dalam bukunya Shadow of Change adalah bahwa karya sastra sebelum zaman perang hingaa tahun 80-an mengangkat citra perempuan dari beberapa sudut pandang terutama sudut pandang sosiologi. Selain itu, Tineke Helwig juga menemukan bahwa penggambaran perempuan masih berkutat di dunia domestik.
Tidak jauh dari hasil penelitian Tineke Helwig, hasil penelitian Sugihastuti seorang pengajar Universitas Gajah Mada dalam bukunya Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty  menemukan bahwa penggambaran wanita juga masih berkutat dari segi psikis, fisik, lingkungan keluarga dan hirarki social.
Ternyata, di atas kertas pun yakni dalam dunia sastra, perempuan memiliki sejarah kelam. Perempuan adalah objek. Objek karangan. objek penggambaran. Yang ditulis oleh laki-laki dengan penggambaran yang penuh dengan berbagai kebiasan; perempuan bodoh, miskin, lemah, dst. Di atas kertas itu pula perempuan menjadi benda, menjadi barang. Seperti tokoh Siti Nurbaya yang dibendakan oleh orang tuanya saat ia dinikahkan dengan Datuk Maringgi, pria yang sudah berbau tanah itu, sebagai ganti menebus hutang-hutang orang tuanya. Perempuan digambarkan sebagai tokoh yang berada dalam posisi begitu lemah, yang hanya bisa diam saat menjadi  'korban' kepentingan. Kepentingan adat, orang tua, dan nafsu lelaki. Tokoh Siti Nurbaya seperti  tidak punya eksistensi padahal baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama makhluk otonom yang berhak menentukan atas kediriannya. Selain itu yang kini kembali marak diperbincangkan di dunia akademisi salah-satu jurusan di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya adalah tokoh perempuan bernama Dasima. Nyai Dasima yang memiliki kelas lebih tinggi dari pribumi karena ke-nyaian-nya malah menemukan berbagai kekerasan di rumah William, baik fisik maupun psikis. Setelah lepas dari William, Dasima terperosok di pelukan Samiun yang juga telah beristri. Siksaan fisik dan psikis semakin menjadi-jadi di kehidupannya yang ini karena Samiun adalah juga lelaki yang telah beristri. Istri Samiun yang secara otomatis juga menjadi korban budaya patriarkhis. Dalam novel ini hampir semua tokoh perempuan diselimuti kekerasan, tekanan dan terjengkang-jengkang berjatuhan menjadi korban satu per satu. Sampai pada sosok Kartini yang dalam surat-suratnya membawa semangat emansipatoris, tetap saja dia hidup di balik bayang-bayang  budaya yang patriarkhis. Menikah di luar kemauannya dan meninggal saat melahirkan. Bagaimana logika kita membaca betapa kuatnya budaya patriarkhis pada kala itu, hingga perempuan yang sudah sadar kesetaraan masih saja terperosok. Setidaknya, Kartini telah menyemai benih-benih kesadaran sejak itu.
Menjelang tahun  2000-an kesusastraan di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Yang pada mulanya perempuan hanya menjadi objek representasi laki-laki dengan segala penggambaran yang dilumuri kebiasan, perempuan mulai bangkit. Sudah saatnya perempuan menulis tentang dirinya sendiri yang dirasakannya, tentang laki-laki, tentang hubungannya dengan perempuan, dan tentang hubungannya dengan  laki-laki, tentang dan dengan perspektifnya sendiri. Mulai dari semangat kesetaraan, pembebasan, sampai yang dianggap mendobrak tabu.
Beberapa karya perempuan yang dibuat geger dan dan sangat heboh pada saat itu di antaranya adalah novel 'Saman'  karya Ayu Utami yang memenangi sayembara roman kesenian Jakarta tahun 1998. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag.
Katrin Bandel seorang peneliti sastra dari Jerman dalam bukunya Sastra, Perempuan, Seks, mengatakan bahwa kehebohan itu karena kalimat terakhir dalam Samannya Ayu Utami yang begitu provokatif yaitu "Perkosalah aku". Menurutnya, hal itu menjadi buah bibir dan membuat geger karena keterbukaannya dan pendobrakannya . Keterbukaannya dalam hal seksualitas. St Sunardi, Ketua Program pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam pengantarnya di buku tersebut mengatakan bahwa masalah seks harus dibahas dalam konteks yang lebih luas karena seks tidak hanya sekadar artian genital melainkan juga gairah hidup, libido, dan eros. Menurutnya pula, seks yang merupakan gairah hidup adalah selalu dan senantiasa mencari bentuk-bentuknya yang sesuai. Dia juga menuliskan jika sastra harus berani bicara tentang seks secara bebas dan kreatif, jika tidak maka karya sastra akan menjadi miskin.  Yang perlu diperhatikan dan menjadi urgen bukan masalah 'bebasnya' tapi 'berhasil-tidaknya' sastra itu sendiri mendapatkan bentuknya yaitu bisa bicara sebebas-bebasnya.
Pada era itu karya-karya semacam karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu banyak menuai kontroversi.  Agus Sulton dalam artikelnya yang dimuat di Kompas tanggal 01 April 2010 mengatakan bahwa  karya-karya sastra wangi itu tak lain hanyalah karya sastra aroma selangkangan yang berkedok feminisme. Tidak seperti karya sastra sebelumnya yaitu karya sastra Nh Dini, Dayu Oka Rusmini, Ratna Indraswari Ibrahim, dll yang  menyuarakan gender atau parsial-parsial ideologi paradigma-feminisme. Dalam pengantarnya, seolah kalimat Katrin Bandel menolak tuduhan itu. Jika kehadiran sastra wangi dituduh sebagai pembaharuan yang melenceng dari semangat patriotnya tokoh-tokoh perempuan sebelumnya, jika karya sastra wangi hanya karya sastra aroma selangkangan yang berarti dianggap porno, Katrin Bandel mengilas balik cerita yang hidup di sekitar Nyai Ontosoroh, tokoh yang dibuat Pramoedya Ananta Toor dan Nyai Dasima adalah 'pornonya' jaman Kolonial.
Akhirnya, berkaitan dengan sastra dan perempuan kalimat penulis di bawah ini yang terilhami dari ungkapan  St. Sunardi semoga bisa menjadi lecut. Yaitu kepada seluruh gerakan perempuan atau feminisme di Indoinesia khususnya di UIN sunan Kalijaga, jangan berbangga diri sebelum memasuki wilayah sastra. Karena masalah diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan dehumanisasi perempuan bukan hanya masalah social dan hukum saja melainkan masalah kesadaran dan imajinasi,. Gerakan akan kosong jika tidak dilandasi kesadaran. Dan kesadaran pun tak ada guna tanpa action. Minimal dari diri sendiri.


ROAN; MENYEMAIKAN PEDULI-KASIH ANTAR SANTRI


ROAN; MENYEMAIKAN PEDULI-KASIH ANTAR SANTRI
Roan. Sebuah istilah yang tidak asing lagi di ruang dengar santri di beberapa pesantren. Ro-an merupakan istilah yang membumi di dunia beberapa pesantren. Sebuah istilah yang dipakai untuk menyebut moment besar yang dilaksanakan seminggu sekali (pada hari libur). Moment besar ini (baca: roan) adalah kerjabakti bersama atau yang lebih dikenal sebagai kerjabakti kubro. Istilah ‘roan’ masih belum bisa diketahui secara pasti berasal dari bahasa apa. Namun menurut salah-satu santri Wahid Hasyim yang juga pernah nyantri di Kudus (tempat pertama kali dia mengenal istilah roan), roan adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa Jawa, artinya: bersama-sama.  
Hari libur menjelang, beberapa santri akan disibukkan dengan pendataan-pembagian lokasi yang akan langsung diserbu bersama untuk lekas dibersihkan. Aktifitas kerjabakti kubro/ro-an ini memiliki esensitas yang majemuk. Roan tidak hanya menghasilkan suatu kebersihan lokasi pesantren (kebersihan dhohiriah) saja namun lebih dari itu, roan menyimpan hasil lain yakni  kebersihan batiniyah (kebersihan hati). Tidak hanya olahraga fisik tapi juga riyadhoh hati.
Roan yang dilakukan bersama-sama oleh segenap santri dilaksanakan dengan keikhlasan, kebersamaan, dan kegembiraan. Tak jarang di tengah-tengah aktifitas roan tiba-tiba terdengar kelakar beberapa santri. Di pesantren, situasi kerjabakti bersama tidak menjadi penghalang untuk saling menstransformasikan ilmu lewat perbincangan-perbincangan kecil. Jika ada istilah bermain sambil belajar, orang-orang pesantren pun mencipta istilah kerjabakti sambil belajar dan berbagi pengalaman.
Moment roan juga bisa dikatakan moment silaturrohim, moment temu kangen. Setelah satu minggu pesantren  dipadati dengan kesibukan hilir-mudik dan hiruk-pikuk santrinya, roan memberi ruang untuk bertemu: bertemu dengan kebersamaan, temu pikir, temu pengalaman, temu canda-tawa, pun bakalan ketemu siapa yang sedang tidak punya uang.(he)
Roan benar-benar mencipta wadah tersendiri dalam dunia pesantren. Waktu roan, tidak sedikit para santri yang memperbincangkan masalah-masalah kecil seputar kehidupannya di pesantren. Ada yang bercerita, ada yang mendengarkan, memperhatikan, hingga muncul problem solving dalam perbincangan ringan itu. Dari situlah para santri belajar berempati, hingga dengan tidak disadari tumbuh di antara mereka rasa peduli dan rasa kasih satu sama lainnya.
13 April 2011,
HibatNahwa



Selayang Pandang Kedamaian di Bilik Yogyakarta


Selayang Pandang Kedamaian di Bilik Yogyakarta
Dalam sebuah media cetak dipaparkan bahwa ada beberapa  guru yang berasal dari Amerika Serikat membaca suatu realitas yang berlawanan dengan apa yang selama ini mereka dengar dan percaya, bahwa Islam itu keras, anarkis, teroris dan jauh dari damai. Banyak kesalahpahaman dan prasangka buruk masyarakat (khususnya di Negara Barat) terhadap Islam. Di sebuah pesantren yang mereka kunjungi tersemai dalam pandang mata sebuah suasana yang damai, tentram, indah, jauh dari kebencian dan kerusuhan. Hal yang membuat salah satu diantara mereka tertegun adalah ketika mengetahui para santri hidup di asrama kecil dengan kamar  sempit yang hanya diperuntukkan menyimpan pakaian dan buku. Dalam keadaan seperti itu, sebuah keadaan yang sangat jauh dengan suasana yang dirasakan murid-muridnya di sana, para santri tersebut tetap terlihat begitu senang, ceria dan gembira, tidak terlihat gurat berkeluh kesah. Bahkan untuk tidur ada beberapa yang tidak menggunakan tikar, makanan sederhana, belajar ilmu agama di lantai tanpa meja dan kursi. "Siswa-siswi di Amerika harus tahu ini dan harusnya mereka bersyukur terhadap apa yang telah dipunyai sekarang," tutur Grace.[1]
Lalu bagaimana pembacaan warga Indonesia khususnya penghuni pesantren sendiri (santri) mengenai kedamaian di pesantren?.
Penulis sempat mewawancarai dua santri Yogyakarta dari pesantren yang berbeda. Menurut santri Ponpes Wahid Hasyim, pesantren adalah miniatur negara yang di dalamnya terdapat berbagai macam jenjang pendidikan. Uniknya, perbedaan jenjang ini tidak menjadi sekat sosial. ” Malah perbedaan tingkatan itu menjadi suatu hal yang bisa saling melengkapi.” tuturnya. Pesantren masih melestarikan budaya guyubnya; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Realitas ini ia contohkan dengan kerja bakti kubro yang dilaksanakan hampir setiap minggu.”Satu lagi yang membuat saya terkagum pada pesantren ini. Ketika abah (panggilan pada Kiai) turun langsung ke jalan pada acara kerja bakti tanpa mengajak apalagi menyuruh  santri-santrinya, sontak para santripun langsung sama-sama ikut bekerjabakti di jalan.  Itulah indahnya pesantren.” Imbuhnya.
Sedangkan menurut salah satu santri yang tengah menjalani hidupnya di Ponpes Krapyak, pesantrennya merupakan potret masyarakat egaliterian. Adanya strukturalitas dalam kepengurusan, tidak lantas mencipta hirarkial sosial. Seragam kepengurusan pun tidak menjadi alasan mereka untuk tidak ikut serta dalam gotong royong. Seperti yang telah dilontarkannya “Mereka (baca: para pengurus) benar-benar lebur dalam hal apapun, semisal gotong royong. Pengurus dan semua santri terjun semua, serempak. Kita melakukannya bersama-sama.”
Dari uraian kedua santri di atas, terlihat penilaian positif pada pesantrennya masing-masing. Iklim yang damai dan tentram hadir di tengah-tengah nafas pesantren kediamannya. Mungkin bukanlah suatu hal yang merugi jika mencoba memetik pelajaran dari realitas yang ada. Dari pemaparan kedua santri di atas, bisa ditarik benang merah bahwa yang melatar belakangi terciptanya kedamaian di pesantren adalah: Terbangunnya kebersamaan baik dhohiriyah maupun batiniyah dan juga keegaliteran yang lahir dari pola kehidupan sehari-harinya. Suatu intensifitas pola kehidupan yang terkonstruk begitu bagus. Suatu keselarasan pengakuan dari dua orang santri yang berbeda pesantren. Keselarasan yang sifatnya kebetulan saja atau sebenarnya memang kebersamaan dan keegaliteran itulah yang merupakan salah satu pupuk penyubur kedamaian di pesantren-pesantren?. Selain itu, bisa diimplikasikan pula bahwa pupuk perdamaian itu juga berada dalam gayung pengurus-pengurusnya. Bagaimana kepandaian pengurus  menempatkan dan memainkan stuktural-kulturalnya hingga bisa bersemi indah di tiap-tiap hati rakyatnya (santri yang tidak berada di jajaran kepengurusan), apalagi tentang suatu hal yang sensitive konflik. Atau masih ada lagi diantara anda yang ingin menyumbang pengetahuan ataupun metodologi mengeni pupuk kedamaian di pesantren?, atau bahkan menunjukkan apa, siapa dan bagaimana diketemukan cacing beserta tanahnya yang merupakan signifikansi dalam pertumbuhan kedamaian di pesantren??.                                    
Di bawah gerusan vulkanik,  05 November ‘10                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         Hibat_Nahwa



[1] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/08/05.