Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Minggu, 14 Oktober 2012

JODOH ITU NASIB, CINTA ITU TAKDIR!

JODOH ITU NASIB, CINTA ITU TAKDIR!
Akhir-akhir ini aku benar-benar capek. Padahal, aku tidak melakukan apa-apa. Tak ada tugas kuliah, tugas rumah, tugas organisasi, bahkan tugas pribadi yang biasa kuplaningkan sendiri untuk diri sendiri. Semuanya libur total. Tapi aku benar-benar capek. Anda bisa membantu?
Apa mungkin karena sesuatu yang tak terlihat ini? Sesuatu yang tak bisa disentuh apalagi dipegang dengan panca indra ini? Sesuatu yang membuat diriku sang kritikus dan logis jadi kehilangan pertimbangan? Aku yang dikenal selalu lincah, cepat, dan tepat dalam setiap memutuskan dan menyelesaikan masalah menjadi kehilangan arah?
Atau jangan-jangan waktu itu telah datang? Waktu yang setiap kaki berjiwa di bumi ini pasti merasakannya? Tiba-tiba aku gemetar. Ada takut ada senang. Tapi aku masih ragu. Sehingga kucoba meruntutkan kembali peristiwa-peristiwa sebelum sesuatu ini menyerangku. Kuingat-ingat lagi setiap peristiwa, kurekam benar-benar lalu kupotret dan kupikirkan lagi. Tidak ada!. Tidak kutemukan!.
Apa mungkin ada yang terlewat?. Kuulangi lagi proses demi proses seakan aku sedang mengalami masalah dan kini sedang mencari latar belakangnya mengharap menemukan problem solving. Nihil! Bagaimana kutemukan problem solving, menemukan yang kucari saja tidak!.
Akh,, apa sesuatu yang merasukiku ini begitu misterius hingga sangat sulit diteliti dengan sikap ilmiah. Apakah yang sedang merasukiku ini memang benar-benar di luar logika, hingga otakku meronta-ronta saat kupaksa berpikir lagi dan berpikir lagi. Aku sangat capek dan nyaris putus asa. Kulemparkan badanku ke ranjang dan menutup kepala dengan bantal. Mencoba menenggelamkan diri sebentar pada kesunyian. Tidak bisa!. Sesuatu ini benar-benar serupa hantu membuatku tak bisa tenang.
Beranjak dari ranjang dan melemparkan bantal. Kubuka Google dan search engine yang lain. Kuketik beberapa kata kunci di kotak berbentuk balok yang ada pada sudut atas laman. Mataku jeli mencari-cari kata yang mulai kusangka dialah yang menggangguku. Tanganku juga bergerak-gerak lincah memencet-mencet keyboard. Kusave file-file yang ada kaitannya dengan yang kuterka dialah makhluk penggangguku.
Kubuka lemari penyimpan majalah-majalah bekas. Kukeluarkan semua. Dengan rakus dan tergesa-gesa seolah dikejar sesuatu. Kubuka tiap lembar-lembar majalah. Kukliping bagian-bagian yang kurasa mendekati pembahasan dan informasi suatu makhluk yang kucurigai dialah penggangguku.
Kubuka kitab suci agamaku, kutulis ayat-ayat yang sesuai dengan makhluk yang kucurigai adalah makhluk penggangguku. Masih kukumpulkan juga beberapa variable yang terkait dengan makhluk yang kucurigai dialah penggangguku, dari ensiklopedia, karya-karya ilmiah, karya-karya fiksi baik cerpen, novel, puisi dan semuanya. Semua kalimat yang sempat kucurigai dengan makhluk itu. Semua kata yang kucurigai berkoalisi dengan makhluk yang meraung-raung dalam diriku. Sampai pada lukisan atau simbol-simbol yang seolah ikut menertawakan kebingunganku.
Semuanya telah kudapatkan. Semuanya telah kukumpulkan. Sekarang saatnya kuurai satu-satu di atas lantai. Kuurai satu-satu. Kupisahkan dan kutata dengan rapi. Puisi dengan puisi, novel dengan novel, cerpen dengan cerpen, artikel dengan artikel, hasil penelitian dengan hasil penelitian yang lain, majalah dengan majalah, lukisan dengan lukisan, dan begitu seterusnya sampai rapi.
Selanjutnya, mataku harus jeli menangkap variable dan point-poin penting dari setiap yang terurai di atasa lantai ini. Lantas mengkait-kaitkannya, sesuatu yang kudapat dari novel dengan yang kutemukan dalam sajak, lukisan, artikel, ayat-ayat kitab suci, dan semuanya yang sekarang sedang tercecer di atas lantai.
Mataku menangkap majalah wayang, dan hatiku bergetar saat membacanya. Sebuah kalimat sunyi dari seorang dalang:
Jodoh itu nasib!
Cinta itu takdir!
Tidak! Ini jelas bertentangan dengan kepercayaan agama yang kupeluk!. Ini beroposisi biner. Jodoh itu bukan nasib! Jodoh itu takdir yang sudah ditentukan dan dipilihkan hingga tak ada satu pun manusia yang bisa menawar. Namun otakku tak bisa dibohongi. Logikaku tak bisa kutipu meski oleh diriku sendiri. Cinta itu takdir. Takdir. Ialah yang berada di balik kuasa manusia. Yah, benar. Semuanya ini di balik kuasa dan keinginanku. Logika dan hatiku seolah bersekutu menyerang ketidak percayaanku. Membunuh kesangsianku. Oh Tuhan,,,, tidak! Apa ini maksudnya.
Tidak! tidak mungkin. Entah bagian diriku yang mana yang masih saja menepisnya. Kutinggalkan dua kalimat yang sanggup menyusup hati dan logikaku itu. Membalik lembaran selanjutnya:
Cinta itu seakan iman
Cinta itu adalah iman
Iman?. Kepercayaan? Adakah cinta itu kepercayaan?. Akh aku tak menemukan logika yang cocok dengan kalimat ini. Kulentangkan tubuhku di lantai menatap langit-langit kamar. Kedua tangankku kutekuk menyangga kepala. Aku berpikir dan mengeja lirih "Cinta seakan iman, Cinta adalah iman". Mataku menyusuri langit-langit kamarku yang putih bersih. Menyapu dinding kamar yang juga putih bersih. Tepat pada dinding di depan aku berbaring, sebuah bingkai besar berisi lukisan nama tuhanku. Nama Tuhanku yang setiap kali kulihat dan setiap hari kusebut meski mataku yang kasat ini tak pernah melihatnya. Ah… kalau sudah percaya dan beriman tak perlu jua aku meragu. Meski seribu logika menyerbu bagaimana bisa aku berargumentasi untuk pembelaan keimananku pada Tuhan. Yah, meski sebenarnya jika memaksa aku bisa berargumentasi logis selogis-logisnya dan mungkin mereka akan terpana mengiyakan. Yakh,,, meski aku sendiri tak percaya keimanan bisa disandingkan utuh dengan logika. Simpel saja karena mana mungkin aku bisa mengungkapkan sesuatu yang tak terungkapkan. Mengungkapkan sesuatu yang berada diantara kata-kata dan kebisuan. Yang kasbi mengungkapkan yang sejati.
Kubalikkan badan berniat terpejam sebentar saja. Kututup kelopakku dan gelap mulai menguasai. Masih terekam lukisan nama Tuhanku. Kelopakku tersentak dan membelalak. Aku paham, apa yang dimaksud di balik kalimat di atas: Cinta seakan iman, Cinta adalah iman. Kuurungkan niat terpejam dan dengan rakus mataku kembali menelusuri yang tercecer di atas lantai ini. Sekarang, mataku tersangkut pada sebuah sajak perempuan Sufi dalam salah satu agama:
Sulit menjelaskan hakikat cinta
Ia kerinduan dari gambaran perasaan
Hanya orang yang merasakan dan hanya mengetahui
Bagaimana mungkin engkau dapat menggambarkan
Sesuatu yang engkau sendiri bagai hilang dari hadapan-Nya
Walau ujudmu masih ada
Karena hatimu gembira yang membuat lidahmu kelu.

Belum usai keterpanaanku mendapati suatu makna yang teramat dalam di balik sajak ini, tiba-tiba muncul di antara kata-kata sajak ini sebuah titik putih yang semakin membesar. Aku terkesiap bagaikan mimpi di siang bolong. Kucubiti diriku sendiri untuk meyakinkan kalau ini nyata, bukan mimpi. Aku membelalak. Titik putih itu semakin membesar dan memancarkan sinar sampai cahayanya menyapu penuh ke segala penjuru kamarku. Mataku silau dan tubuhku terpelanting ke sisi ranjang. Gelap.
Dingin. Kurasakan sesuatu yang begitu kecil tapi lembut menyentuh kelopak mataku yang sedang terkatup. Masih kurasai kepalaku yang sedikit pening. Sesuatu yang lembut dan dingin ini kembali mencolok-colok kelopak mataku, seperti menyengaja. Kubuka mataku, penasaran. Oh!!!. Aku sangat terkejut melihat sosok kecil di depan mukaku yang masih tergeletak di sisi ranjang. Kepalaku sampai kejedok kaki ranjang karena keterjutanku yang sangat.
"K-k-kau siapa?"
Sosok manusia kecil ini tersenyum melihatku yang ketakutan dan gemetaran. Dia perempuan kecil seukuran jari telunjuk orang dewasa. Mengenakan rok panjang, baju panjang, dan jilbab panjang seperti teman-teman jilbaber di kampusku. Dia tersenyum anggun tapi tak bisa mengurai rasa takutku. Kutanya lagi
"Katakan, siapa kau?" darimana kau datang dan apa maumu?!"
Sekarang dia duduk di lantai, menekuk lututnya dan mengalungkan kedua tangannya di depan kaki. Dengan pelan, aku pun berusaha bangun dan duduk di depannya.
"Aku dari sana", telunjukknya yang terlampau kecil mengarah pada sebuah buku kumpulan puisi yang sudah terbuka. Buku tempat muasal cahaya tadi.
"Namaku Rabi'ah Al-Adawiyah. Dan aku tidak mau apa-apa selain bertanya sesuatu padamu"
Aku terlongong-longong. "Maksudmu, Rabiah Adawiyah sufi perempuan yang berasal dari Bashroh itu?". Makhluk kecil itu mengangguk dan mengerjapkan matanya.
"Apa maksudmu ingin bertanya padaku?! Aku tidak mengerti".
Makhluk kecil itu bangkit. Berjalan ke kanan dan ke kiri tepat di depanku duduk bersila. Dia sungguh kecil. Jilbabnya melambai-lambai. Aneh, kenapa dia mengenakan baju ala gelintir muslimah Indonesia, bukan galabe, jubah, atau pun cadar. Pakaian yang dikenakan oleh perempuan zaman dulu di Bashroh. Seperti mengetahui kepenasaranku dia berhenti mondar-mandir lantas menjawab sambil mendongak. Dan aku semakin bingung plus takjub.
"Apa salah kalau aku berpakaian seperti ini? Jangan sok tahu tentang kebenaran yang belum kau ketahui dengan benar. Semua kebenaran di muka bumi ini hanya semu. Mungkin kau akan lebih terkejut dan tidak terima semisal aku muncul di depanmu dengan mengenakan celana." Lagi-lagi aku hanya ternganga. "Akh, langsung saja. Itu tadi tidak penting. Ada yang lebih penting dari sekadar membahas cover"
Aku semakin saja tercengang. Di balik pakaiannya yang seperti itu, dia begitu modern. Bahasa Indonesianya fasih. Siapa sebenarnya makhluk kecil di depanku ini? Adakah dia benar-benar Robi'ah yang dipuja?
"Kalau kau ragu dan tak percaya aku Rabi'ah atau bukan, itu hakmu. Yang penting adalah kau harus menjawab pertanyaanku". Lagi-lagi aku terkejut atas jawabannya. Dia tahu apa yang kubisikkan dalam hati. Dia kembali mondar-mandir seperti berpikir sesuatu. Sedang aku mulai penasaran juga. Kiranya apa pertanyaan yang harus kujawab itu sampai-sampai kekasih Tuhan ini bersedia menjumpaiku.
"Jawab pertanyaanku dengan lugas", matanya menatap mataku, wajahnya yang bersinar mulai serius.
"Kau percaya Tuhan?"
"Tentu"
"Kenapa kau percaya tuhan?"
"Banyak sekali alasannya" dia mengernyitkan dahi. "Ma'af, bukan itu maksudku. Bukan pada alasannya. Yang terpenting adalah karena aku merasakan Tuhan itu ada. Aku merasakan kehadirannya pada kehadiranku. Dan kehadirannya yang kurasakan adalah penting. Aku merasakannya"
"Benar karena itu?" matanya menyipit seolah memancing kebenaran. "Itu saja?"
Dia seolah menelanjangi hatiku yang dia tembus melewati kornea mataku. Aku menunduk lemah. Menyembunyikan mataku dari tatapannya. Kumerasakan geletar yang kuat bahwa dia tahu sekali yang aku rasakan. Aku menggeleng dan minta ma'af padanya. Ada sesuatu yang masih belum bisa aku kalimatkan. Kepercayaanku padaNya tak bisa terbahasakan. Maafkan aku.
"Kau percaya cinta?", pertanyaannya yang tiba-tiba menyentak jiwaku. Lagi-lagi dia melucuti rahasia yang terbungkus rapi. Aku mendongak kaget. Aku pernah benci sekali mendengar kata itu disebut. Benci sekali. Mungkin sampai saat ini hingga aku berusaha mencari-cari kebenaran. Oh mungkin tidak!, tepatnya aku mencari-cari bantahan bahwa ia tak pernah menyergapku karena perasaan takut diolok-oloknya. Khawatir diumpatnya. Mulutku langsung saja menjawab lirih meski nada ketusnya tak bisa kusembunyikan.
"Tidak!"
"Kau percaya cinta?", mengulang, seolah menyengaja.
"Tidak", mulai melayu.
"Kau merasakannya?"
Aku tak bisa berkata. Keheningan hadir di antara kami. Aku membisu tapi tangisanku yang menjawab. Jawaban sempurna. Tubuhku bergetar menahan tangis yang sudah mulai membuncah.
"Laila, itulah cinta. Jangan kau pungkiri. Ia juga tak bisa terbahasakan dan beralasan seperti keimananmu. Semakin kau pungkiri, semakin nyatalah ia. Kau takkan pernah bisa lari darinya. Bagaimana kau bisa lari dari takdir? Bagaimana kau bisa lari dari Tuhan itu sendiri jika kau lebur di dalamnya?"
Kutelungkupkan kedua tangan pada mukaku. Tangisku benar-benar pecah.
Dari sela-sela tanganku yang menutup mukaku, cahaya terang menyala menyeruak dari segala penjuru kamar, menyilaukan mataku yang dipenuhi air keegoan yang memenara-gading. Cahaya itu berputar-putar dan tiba-tiba dengan begitu cepat lenyap dalam keheningan. Kembali pada satu titik. Kumasih terpaku menyaksikan semuanya, dengan wajah penuh air mata. Dan entah kekuatan dari mana seolah menyelusup ke tubuhku. Makhluk kecil tadi turut lenyap bersama lenyapnya cahaya.
Jari telunjukku menegang dan menunjuk-nunjuk pada sebuah buku yang masih terbuka, buku kumpulan puisi. Aku berteriak panjang:
"Tidak! Ini bukan cinta!. Terbukti cinta sudah terbahasakan dalam syair-syairmu. Telah terungkapkan. Kemaha-dahsyatan yang membelenggu jiwa dan sukmaku ini sangat besar untuk sekedar disebut cinta. Cinta itu telah terpenjara dalam kata. Sedang yang kurasa ini tak bisa dipenjarakan dengan kata yang paling agung sekalipun.Yang Kau, hai Perempuan dari Bashroh menyebutnya cinta. Tidak! Ini bukan cinta!.
Angin kencang bergulung-gulung di dalam kamar, menerbangkan dan mengacaukan segala isinya. Karena teriakanku tak sekadar teiakan suara. Tak sekedar jeritan yang lekang, ia adalah jeritan jiwa. Jeritan sukma!








Tidak ada komentar: