Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Minggu, 15 April 2012

Karena Aku Berteman Dengan Tuhan


Karena Aku Berteman Dengan Tuhan
Kutekankan telapak tanganku pada Bangku kayu panjang yang menemaniku di tepi danau ini. Air jernih  yang memantulkan kembali cahaya senja berkecipak seolah membawaku kembali ke alam sadar setelah beberapa waktu termenung. Ku hempaskan keras-keras nafasku di sore ini meski sebenarnya beban berat yang tengah menyelimutikulah yang hendak kubuang jauh-jauh. Lima bulan sudah aku hanya berdiam diri di rumah setelah lulus dari SMA. Tak seperti teman-temanku yang lain yang kini tengah tersenyum di bangku kuliahnya.  Entahlah aku tak tahu kenapa aku yang selalu menjadi siswa terbaik di SMA dan lulus dengan nilai yang membanggakan orang tua bahkan SMA Tunas Harapan sekarang malah menjadi orang yang terisolir, tak bisa menguak kembali ilmu-ilmuNya di jenjang perkuliahan. Yang aku tahu Tuhan sedang merencanakan sesuatu untukku. Aku yakin Tuhan tak kan menyia-nyiakan hambaNya. Keyakinanku padaNya sudah mendarah daging, sangat. Dan diam-diampun di tengah situasi yang sangat tidak memungkinkan ini aku yakin suatu saat Dia akan menegukkan kembali ilmuNya padaku di bangku kuliah. Aku yakin itu, yakin.
 “Bagaimana yah?” Tanya ibuku pada ayah waktu itu dengan gelisah
Akupun seperti ibu gelisah menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut ayah, laki-laki yang bekerja siang malam membanting tulang untuk pendidikanku selama ini, anak perempuannya dan ketiga adik laki-lakiku yang masih duduk di bangku SMP dan SMA di luar kota.
Mata ayah terlihat suram, badannya lemas. “Warung kita jadi digusur bu…”
Mulut ibuku sedikit terbuka mendengarnya, ia lekas menjatuhkan diri di kursi serasa kakinya tak kuasa menopang lagi badannya, bebannya. Air matakupun menetes di balik tirai pintu kamarku mendengar semua itu. Hari yang tak mungkin bisa kulupakan, hari penentuan aku bisa kuliah atau menyudahi mimpiku dari sini saja.
Setelah hari itu ayahku selalu keluar lebih pagi dan pulang lebih malam, mencari kerja yang sangat tidak mudah di kota besar ini. Sedang aku dan ibu di rumah mencoba berjualan makanan kecil di depan sekolah yang kebetulan tak jauh dari rumah kami. Hanya untuk bertahan hidup saja dan entah bagaimana nantinya biaya sekolah ketiga adikku di sana. Di depanku ayah ibuku menampakkan ketegaran dan seolah tak terjadi apa-apa dengan keluarga kami. 
Ternyata ada yang disembunyikan dariku. Ayah mengidap liver setahun lamanya, mereka tak mengabariku. Tak pelak di senja itu, suatu hal yang membuatku membenci pada senja, aku teramat kaget dan begitu terpukul ketika kulihat ibuku menangis di samping ayah yang tengah terbaring dengan merintih menahan sakit di bagian perutnya. Ibuku Nampak kaget melihatku berdiri di ambang pintu. Dengan air mata yang terlanjur terburai di pipinya dia mendekatiku, memegang tanganku menatap mataku seolah ingin membagi beban yang selama ini diembanya sendiri. Selanjutnya kita menangis dalam pelukan seorang anak gadis dan ibunya.
“Tyas……” tangis dan peluk kami berhenti tiba-tiba saat mendengar suara lemah ayah memanggilku. Aku lari ke tepi ranjang menggenggam tangan ayah menumpah ruahkan tangisku di sana.
“Ayo naik nak, naik dan duduk di samping ayah, ayah ingin berpesan padamu” Aku benci dengan kata-kata ayah. Aku benci karena ada rasa takut yang tiba-tba mendera d ulu hati. Namun aku menurutinya dengan duduk disampingnya. Ayah memperrat genggamannya dan mnatap mataku tajam di antara pandangan lemahnya, aku masih tersedu-sedu menahan teriak tangis.
“Nduk, ayah tahu kau seorang gadis yang dewasa. Ayah tahu dari keseharianmu dan penuturan teman-temanmu selama ini. Ayah yakin sebagai anak pertama meski kau perempuan kau akan bisa menjaga ibu dan adik-adikmu….” Kata-kata itu membuat rasa takutku membuncah sehingga membuat ragaku serasa tak menmpel di ranjang, sersa aku terbang dan aku lupa, aku lupa kalau di depanku adalah ayahku. Tangisku pecah, aku menangis dan bersuara karena tak tahan sudah dada ini menahan sakit karena menahan tangis. Aku menangis dalam pelukan ayah, ibuku menghambur. Ayah membelaiku dalam peluknya.
“Kau juga harus berjanji pada ayah nduk, kau harus kuliah, harus nduk. Kau harus jadi perempan sukses agar adik-adikmu juga sukses dan ibumu bahagia. Ayahpun akan bahagia melihat kesuksesanmu meski dari jauh” Tangisku dan tangis ibuku bercampur makin melenakan suasana.
“Nduk….” Aku tak kuasa mengangkat wajah tuk menatap ayahaku tetap menangis dalam pelukannya.
“Nduk,, maafkan ayah, ayah tidak bisa membantu dan menghantarmu pada kesuksesan itu. Sekali lagi maafkan ayah nduk….” Aku semakin tersedu-sedu mendengar semua itu. Dadaku sakit, tenggorokanku sakit.
“Tidak yah, tidak….” Hanya kata itu yang muncul di antara sedu sedanku.
Tiba-tiba dadaku mendesir merasakan belaian ayah berhenti dan dingin menjalari tubuhnya. Tidak! Aku tak berani mendongak ke wajah ayah. Namun tiba-tiba ibu menjerit panjang sehingga aku tersentak bangun. Oh tidak, aku melihat ayahku terkatup dalam senyum di antara henti denyut nadinya. Akupun berteriak panjang namun dalam batinku….
Setelah ayah tiada di antara tengah-tengah kelurga ini aku dan ibu bukanlah hanya sebatas anak dan orang tua, kita menjadi sahabat. Aku dan ibu pontang-panting membuat kue-kue kering dan kami jual ke pasar untuk kehidupan kami dan kelanjutan pendidikan adik-adikku. Mereka harus tetap sekolah. Permintaan ayah selalu terngiang-ngiang di telinga dan menggaung-gaung dalam fikirku setiap malam sehingga aku tak bisa tidur. Kuisi malam-malamku dengan melanjutkan menulis novel dan beberapa cerpenku yang telah lama tak kujamah. Setelahnya kuhabiskan malamku pula mengadu kepada Tuhan yang Maha Kuat, Yang Maha Tegar. Agar aku bisa menjadi gadis yang kuat dan tegar pula.
Aku tak pernah menyangka kalau goresan-goresan tanganku di tiap malamlah yang akan meluluh lantahkan kebencianku pada senja. Di senja ini setelah datang dari toko membeli bahan-bahan kue yang harus kuolah kuterima sepucuk kertas coklat dari pak pos yang ramah itu. Setelah selintas kubaca tulisan di dasar amplop beralamatkan tempat aku mengikuti lomba kepenulisan. Kubuka amplop itu dengan tangan gemetar, mengharap prediksiku benar. Kubuka lembaran itu. Tuhan….. terimakasih. Aku menjadi pemenang lomba kepenulisan Novel se-Indonesia.
Selanjutnya aku bisa memenuhi permintaan ayahku, aku bisa kuliah dengan uang yang kuperoleh dari perlombaan itu. Aku kuliah sambil terus menulis dan menulis.
Di senja ini, masih di bangku kayu panjang ini pula aku tersenyum atas usaha dan keyakinanku padaNya. Bukankah Dia sudah berkata? “ Aku bersama prasangka hambaku.” 

Rumah pelangiku, 24 April ‘10 
                     

Tidak ada komentar: