Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Selasa, 10 April 2012

POHON PUN BERTASBIH

POHON PUN BERTASBIH
Aku masih terpaku, tertegun dengan apa yang baru saja ku lihat. Suatu hal yang membuat tubuhku bergetar, dadaku berdetak kencang, dan mulutku tak henti-hentinya bertasbih.Tiba-tiba kuingat kejadian satu tahun silam, kejadian yang menurutku tidak penting dan hampir tak pernah ku percaya.
________//__________
“Mbak Leha, ditunggu Abuya di Aula”, seorang teman santri menyapaku, aku mengangguk dan lekas menuju Aula setelah berterimakasih kepadanya. Aula PonPes Roudhoh yang bertahta indah di atas Kantor Pesantren, di lantai dua, sehingga berbagai macam tumbuhan dan pepohonan terlihat begitu indah dari atas, menghijau.
Anginnya menembus jendela-jendela dan pintu utama aula, di depan pintu utama kulihat Abuya, sosok lelaki bersahaja yang telah lama mengabdikan diri di pesantren ini. Lipatan-lipatan usia senjanya sudah menghiasi bagian dahi dan bawah kelopak matanya. Aku masih terpaku melihat Guru besar PonPes ini dari bawah.
Aku terkejut ketika abuya mulai melantunkan bait-bait Alfiyah dengan nada yang mengiris hati siapa-siapa yang mendengarnya. Aku mengerti, seperi itu berarti abuya sedang hendak mengusir kebosanan.
Aku bergegas menaiki tangga demi tangga, tangga yang yang terbuat dari kayu ini berhiaskan aksara jawa di bagian pinggirnya. Angin yang yang berasal dari pepohonan di samping aula ini sengaja berhembus,  bermain dengan jibab hijau mudaku yang mulai bergoyang ke sana- ke mari. Aku harus berhati-hati dan sedikit mengangkat rokku yang mengembang ini ketika menaki tangga.
Setelah sampai di depan pintu utama, aku tak langsung mengucap salam karna khawatir mengganggu dendangan bait Alfiyah abuya yang begitu menyentuh hati. Buya berhenti melantunkan bait, menoleh kepadaku, aku pun mengucapkan salam dengan sedikit menunduk.
“Leha, sini Nduk.”. Abuya mendapatiku.
Aku duduk di depan abuya, agak menyerong. “Sudah dapat berapa bait Alfiyahmu?”.
Aku hanya tersenyum dan kembali menunduk. Abuya tersenyum, pandangannya lurus ke depan, memperhatikan barisan dan kerumunan pepohonan yang mulai bergoyang-goyang, melambai senada disentuh angin.
“Nduk, coba lihat barisan pepohonan dan berbagai tumbuhan itu”
Aku membalikkan badan dan mengedarkan pandangan ke arah yang ditunjuk abuya.
“Perhatikan Nduk, dengan mata hatimu”
Aku menoleh pada abuya, tak mengerti maksudnya, benar-benar tak mengerti.
Abuya memejamkan mata, kepalanya bergeleng-geleng pelan, seperti yang sedang mendengarkan musik, menikmati.
Sekarang beliau mulai berdendang lirih, nadanya indah tapi tak jelas katanya.
“Rumput kering itu yang dzikirnya paling ikhlas dan khusu’”. Tiba-tiba abuya berkata dengan masih dalam keadaan mata terpejam dan tubuh bergoyang halus. Aku bingung dengan apa yang dikata abuya, perasaan takut pun mulai merasupi.
“Tapi tetap semuanya berdzikir, bertasbih, di setiap detik, di setiap nafas kehidupan”. Mataku membulat menatap abuya yang berkata dengan masih terpejam, tak terasa mulutku menganga, takut dengan perkataan abuya, takut dengan keadaan abuya. Ingin aku berlari meninggalkannya tapi itu jauh membuatku lebih takut lagi, aku terdiam dalam ketakmengertian, dalam ketakutan.
“Leha, semuanya bertasbih, angin, batu, pohon-pohon itu, mawar, melati, semuanya, semuanya,  apa-apa yang terhampar di depan mata kehidupan, bertasbih.”
Aku menahan nafas, semakin takut!

                                        _________________//_________________
Aku tersentak dari lamunku, buah pohon ini menjatuhkan diri tepat di atas kepalaku. Aku kembali terpesona dengan apa yang kulihat. Baru di sini aku bisa memahami maksud abuya. Di kampus UIN SUKA yang baru sunyi dari hiruk pikuk mahasiswa dan perabot keramaian dunianya ketika adzan jnm’at berkumandang.
Dari jauh, lelaki tua bungkuk bertongkat mendekatiku, berkata tepat di depanku. “Yusabbihu Lahuu Maa Fissamaawaati Wal-ardh”. Seperti satu tahun yang lalu, nafasku terhenti, mulutku menganga, bukan takut tapi takjub. Kakiku gemetar, mengutuk diri yang luput pada peresapan firman Allah yang selalu kubaca runtut.
Aku ingin menuntut atas apa yang terjadi ini, aku berdiri mencari bapak tua tadi, tapi dia tak jua kutemukan. Aku tanya pada tanah, mereka menggeleng. Aku tanya pada rerumputan, mereka pun tak tahu. Aku berputar-putar sambil bertasbih, menanti jawaban dari sang angin yang mungkin tahu rimbanya bapak tua tadi. Tapi aku hanya berputar, berputar. terus berputar dan tidak mendapat jawaban.  

Alpanya bertasbih,
                                                   


                                                 

Tidak ada komentar: