Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Selasa, 10 April 2012

PEREMPUAN DI TITIK TAKDIR-NYA


“Kau memang benar-benar perempuan aneh! sepertinya kota asalmu yang terkenal dingin itu benar-benar telah membekukan hatimu!, perempuan kok antipati banget sama lelaki yang mencoba mendekat. Kau sudah dewasa bukan anak kecil atau remaja lagi, atau memang mau mengikuti garis jalannya Rabi’ah Adawiyah itu?”. Hibat Nahwa, perempuan yang rasanya sudah memiliki tali pati denganku berceloteh. Aku hanya memandangnya dengan senyum. Dia tidak tahu bahwa sahabatnya yang dikenalnya dingin, menutup hati dan hidupnya dari lelaki yang mencoba mendekatkan hati, kini hati bahkan jiwanya telah tertambat pada sosok yang mampu memporak-porandakan keajegan hatinya, lelaki yang memiliki kepribadian yang terasa selaras dengan harapan pikir, hati, dan jiwanya. Oh Tuhan,,, akhirnya Kau menalikan hati yang lama sepi ini dengan warna keindahan yang Kau cipta, meski ku tak tahu apakah hatinya tertali balik pada hatiku, apakah jiwanya mampu merasakan sentuhan jiwanya dengan jiwaku.
Ku alihkan pandanganku menebar keramaian rumah-rumah di pinggiran kota yang terlihat bersusun-susun dari atas jembatan layang. Riuhnya kendaraan di jembatan layang ini tidak sedikit pun mengusik suasana hatiku yang tengah berbinar, tenang, serasa hanya ada aku dan rasa indah yang tumpah ruah memenuhi cawan hati ini. Angin yang disuguhkan sore ini menerpa jilbab kami, menembusnya hingga leher, merasakan sentuhannya membuatku terpejam sebentar dari melihat hamparan langit yang berhiaskan siluet senja. Yah, hatiku sedang merona. Dia tidak tahu jikalau sahabatnya ini sedang merenda keindahan rasa. Aku dan dia sama-sama terdiam, menikmati suguhan Tuhan di pucuk senja, dengan ketidak tahuannya atas apa yang dirasa sahabatnya ini dan dengan kebahagianku yang benar-benar bahagia, hati yang merona-rona.
Nama Tuhan digemakan saat matahari mulai menelusup, membungkus diri di ujung langit, sontak hatiku yang sedang merona ini mengejang, berdegup kencang demi mendengar suara sang pelantun Nama Agung. Ku tarik tangan Nahwa menyusuri jembatan layang, bergegas menuju asal nama Tuhan digemakan, Masjid agung Al-Hubb. Yang ku tarik tangannya melotot tak paham, aneh melihat tingkahku dan aku hanya tersenyum sembari terus membawanya berlari dan membawa rasa ini terbang ke ufuk senja bertemu dia dan Dia di rumahNya.
HaWa
Di tengah altar suci Masjid Agung nan megah ini, saat para jamaah satu demi satu berhenti dan melangkahkan kaki setelah berkeluh kesah pada Tuhannya, aku menceritrakan pada Nahwa tentang apa yang ku rasa dengan menggenggam erat kedua tangannya, mengurai rasa melewati kata-kata dengan tanpa melepas senyum. Rasa indah yang tak mungkin diceritrakan tanpa keindahan bingkaian senyum. Nahwa membelalakkan mata dan mulut agak menganga, sebuah ekspresi yang menunjukkan ketidak percayaan, ketidak terdugaan. Mungkin dia turut berbahagia ternyata sahabatnya ini masih normal, dan akhirnya datang saat-saat menuai rasa indah.
Di tengah Istana Tuhan dengan masih terbalut mukena putih berhiaskan motif bunga mawar kami berhadapan, berpegangan tangan begitu erat, senyum kami mengembang. “Akhirnya, aku merasakan pula keindahan Tuhan yang satu ini”.
HaWa
“Senyumanmu begitu sederhana, tak semengembang dan seindah bingkaian senyum di rumah Tuhan kala itu”. Nahwa berkomentar ketika suatu sore yang lain kita berjanji bertemu di bawah pohon kamboja, taman kampus.
Aku menatapnya dalam lalu menunduk, lantas mengedarkan pandangan pada bentangan langit yang dihiasi warna senja, langit tetap cantik, secantik guguran kamboja di sekeliling bangku panjang yang kami duduki.
“Aku begitu bersyukur dan memuji Tuhan atas rasa indah ini, namun lambat laun aku tersentak dari buaian keindahan ini, yang hanya angan, menuju pikir jernihku. Bagaimana kelangsungan rasa indah ini? Bagaimana dan kemana aku harus membawanya? Apa aku harus menyulap diri menjadi Srikandi atau Khadijah yang berani mengikatnya sendiri?. Akh,,, rasanya tidak, aku hanya pemujanya bahkan tak tahu bagaimana suasana hatinya padaku, lelaki pelantun kebesaran Asma Tuhan di Masjid Al-Hubb yang diam-diam selalu kuperhatikan tiap langkahnya, ku dengar dan ku rasakan tiap tarikan nafasnya ketika melantunkan adzan, suara dan alunan yang mampu membawaku merayap cinta padaNya, sehingga pelantun itu pun terseret dalam rayapan cintaku.
Nahwa, terkadang aku berpikir, sebenarnya apa maksud Tuhan mengenalkanku dan menghadiahiku dengan rasa yang begitu agung ini?, apakah ini memang tawaranNya, suguhanNya padaku untuk bersanding dengan makhluknya yang lain agar akhirnya kami berdua  menuju kecintaan padaNya?.
Nahwa, aku benar-benar bingung. Dengan umurku yang sudah mencapai kedewasaan, Dia, Tuhan yang selalu ku puja dan berusaha ku cinta sepenuh hati, menyuguhiku atau mengujiku?. Aku pernah merasa berdosa atas ini karena menggugat Dia yang mencipta rasa untukku. Aku pernah berpikir untuk membunuh atau mengubur hidup-hidup rasa ini.”
Nahwa meraih tanganku, menatap dalam dan tersenyum. “Aku tau benar dengan suasana hatimu sekarang, karena aku pun tengah merasakannya. Ini adalah rahasia sekaligus anugerah Tuhan. Hati ini milikNya, rasa ini ciptaNya, sungguh kita tidak berhak membunuh apalagi hendak menguburnya hidup-hidup, biarkan rasa ini tetap bersemi dan menjadi indah. Tak ada keberhakan bagi kita untuk menggerakkan hati, kita nikmati saja pergeseran ini, betapa kita tidak punya andil untuk menggerakkannya”.
HaWa
Bagi perempuan adalah pucuk kegelisahan dan kebimbangan memutuskan yang dirasa adalah yang katanya memang sudah disiapkan Tuhan. Jika para lelaki mengharap yang tepat agar selamat, mereka akan melihat, memilah, dan memilih. Lantas perempuan?, bingung dan ragu untuk menganggukkan atau menggelengkan kepala. Kekhawatiran gelengannya adalah gelengan menolak yang disiapkan Tuhan, khawatir anggukannya adalah ketergesaan dan mendahului takdir Tuhan. Setidaknya, konsep-konsep itu yang digaung-gaungkan keluargaku. Ah,,, perempuan.
Putusku di malam yang menguning;
Di ujung takdirku sebagai perempuan,
Setelah menyulam asa dengan roja’, ikhtiar, dan doa....
Satu dan hanya satu
Esa dan hanya Sang Hyang Widhi
Sang tambatan akhir
Kau Pencipta, menghendaki
Maka tunduk patuhku padaMu Tuhan......
Kepatuhan yang sempurna
Dan kujaga rasa ini
Sampai Kau menakdir
18 Agustus 2011 M
18 Ramadhan 1432 H
Semoga yang kita inginkan adalah yang dituliskan Tuhan
Hibat Nahwa

Tidak ada komentar: