Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Selasa, 10 April 2012

KETIKA NURANIKU MENOLAK


KETIKA NURANIKU MENOLAK
Ku susuri kitab demi kitab di lemari panjang ini. “Nah, ini dia, akhirnya ketemu juga, Kitab Tafsir al-Jalalainku”. Kuambil pena dan berjalan dengan sedikit berlari kecil menuju Masjid, khawatir tak kebagian tempat di depan.
Aduh, penaku masih terjatuh lagi. “Hati-hati atu Neng”.  Suara lelaki, lekas aku berdiri setelah mengambil pena yang jatuh. Ternyata kang Somad, supir pesantren yang siap pakai kapan saja dan ke mana saja. Aku tersenyum dan menjawab teguran kang Somad. “Eh, iya nih Kang, udah terburu-buru malah jatuh. “Mangga atu kang...”. Lekas aku menuju Masjid, pengaosan sudah dimulai.
HN
“Hahaha.....” tawa bahak santri putra yang serempak dan menggaung-gaung di telinga begitu melilit-lilit hatiku. Aku benci tawa itu, aku benci keterangan subuh ini, aku benci Gus Hasan. Bagaimana kemarahan dan kebencianku ini tidak berseteru, jika di subuh ini, kehadiranku untuk menuntut ilmu malah menjadi ajang penghinaan bagi kaum perempuan. Keterangan, yang menerangkan, dan semua santri putra serempak melecehkan dan menjatuhkan kaum perempuan dalam tawanya yang masih terpental-pental di ruang dengarku. Apa mereka tidak ingat pada istri, ibu, atau saudara-saudara perempuan mereka ketika tertawa tadi!. Apa benar Tuhan Yang Maha Adil, Yang Maha Bijaksana menomor duakan perempuan? Merendahkan jenis hamba yang satu dengan jenis hamba yag lain? Apa benar maksud dari teks suci kitab ini seperti yang aku dengar? Aku tak terima. Aku benar-benar tak bisa terima. Semuanya bertentangan dengan titik kenuranian!.
Pada saat bahak tawa yang membahana itu, tiba-tiba kulihat denga jelas dalam imajiku, seorang ibu yang sedang susah payah melahirkan, bermandikan keringat,  dan segerombolan laki-laki yang tertawa terbahak-bahak menunjuk-nunjuknya. Aku menepis semua bayangan itu. Aku melipat kebencianku dalam diam dan tundukku, berpura-pura tak mendengar apa-apa, berpura-pura tetap merangkai makna pada kitab kuning ini. Setengah kutekan penaku ketika menyulam makna pada kitab ini, gigiku ku tahan agar tak bergemelutuk. Aku tetap harus terlihat tenang untuk menjadi uswah bagi santri-santri yang lebih muda dariku ini.
Ku cium kitab ini ta’dzim sebelum ku tutup dan beranjak ke kamar, menyisakan sejuta kemarahan dan berinai kejengkelan. “Mbak...” . Tiba-tiba seorang santri bermata bulat menyapaku, pas setelah aku menutup kitab. “Ada apa Dek?” jawabku dengan tersenyum, mencoba ramah. “Menurut Mbak, gimana tentang pengaosan pagi ini?”. Aku terdiam sejenak, mencoba menerka-nerka kegelisihan gadis manis ini. Aku masih pura-pura diam dengan sedikit mengerutkan dahi, menampakkan ketidak mengertian. “Ya itu lo Mbak, yang katanya perempuan itu tidak bisa jadi pemimpin, tidak punya otak atau bodoh”. Aku mencoba masih menenggerkan senyum dan tiba-tiba bertengger di otakku sosok Kang Somad, supir pesantren yang kalau ngomong gak jelas arahnya, jarang nyambungnya dan Neng Aminah, sosok perempuan berwibawa dan dihormati banyak orang karena kepandaian, kecerdasannya dan budi luhurnya. Hehe, rasanya aku punya jawaban yang tob-markotob. Sambil terus tersenyum aku balik bertanya pada gadis ini. “Mmm... Sekarang Mbak tanya sama kamu, andaikan ada pemilihan Bupati, Gubernur, atau,,, mm ini aja, pemilihan ketua pondok, terus calonnya itu Neng Aminah sama kang Somad, kamu pilih siapa?”. Tanpa ada jeda, dia menerobos pertanyaanku dengan jawabannya yang mantab. “Ya Neng Aminah lah Mbak,,, hahaha...”. Ganti perempuan kini yang terbahak. Dan senyumku mengembang melihat gadis itu puas atas jawaban pertanyaannya.
H*_^N
Aku sengaja keluar paling akhir dari Musholla putri ini. Karena ingin melihat pemandangan menyejukkan dari kaca besar musholla; menyaksikan iringan panjang para santri putri yang dibalut mukenah putih. Melihat pemandangan seperti ini, sering aku tersenyum sendiri dan membayangkan bagaimana indahnya gerombolan dan iringan-iringan manusia di rumah Tuhan nantinya. Lekas aku bergabung di antara iringan itu, kembali menuju bilik masing-masing.
Sesampai di kamar, kusandarkan tubuhku di depan lemari. Pandanganku tersandung pada Kitab Suciku di sudut lemari buku dekat jendela. Aku bangkit hendak menggapainya, tapi kepalaku terhenti di ambang jendela melihat Rika, gadis bermata bulat itu tergopoh-gopoh menuju bilikku. Kusambut dengan senyuman ketika dia sudah berada tepat di depan pintuku. “Assalamu’aliakum Mbak”                                                                                                                                                    
“Wa’alaikum salam,,,”. Kujawab salamnya, tampaknya dia baru saja selesai membantu memasak di Dalem, terlihat dari pakaiannya yang mungkin sempat bersentuhan dengan pantat panci atau sekawanannya.
“Ada apa, kayak ada yang penting banget?” tanyaku.
“hehehe,,, Nggak penting sih Mbak, hanya saja aku ingin mengungkit pengaosan kemarin subuh” Celotehnya sambil mengambil posisi duduk yang nyaman di depan lemariku, akupun duduk di sampingnya dengan tersenyum, geli melihat tingkahnya.
“Ini sebuah penemuanku yang membuktikan bahwa teori kemarin subuh tidak sesuai fakta” Pembicaraannya sudah mulai sok ilmiah, begitu menggebu dia berargumen, sehingga jari telunjuknya pun ikut diangkat-angkat. Aku tergelak. Dia melanjutkan bicaranya, mengubah posisi duduknya terlebih dahulu.
“Mbak tahu Neng Nisa kan?” Aku mengerutkan dahi , mengingat-ngingat.
“Itu lo Mbak, istrinya Gus Hasan”
Aku mengangguk-ngangguk.
“Nah itu Mbak, tadi kan aku masak di dalemnya neng Nisa, nah di situ aku mendapatkan sebuah penemuan penting yang berhubungan dengan teori pengaosan kemari subuh”.
Aku sudah agak jengkel dengan gadis ini, apa hubungannya dapur, neng Nisa dengan pengaosan menjengkelkan itu. Tapi aku hanya diam agar gadis ini lekas menuju intinya.
“Tahu gak Mbak, Gus Hasan cerita ke neng Nisa kalo Mbak Nur ini perempuan solehah lho...” ceriwisnya sambil mencolek pinggangku, aku berjingkat karena geli. Selintas teringat pertemuanku terakhir kali dengan Gus Hasan, yakni pada waktu beberapa hari lalu. Ku bukakan pintu gerbang saat Gus Hasan hendak mengajar ke Madrasah. Apa hanya karena itu, justifikasi perempuan solehah padaku?. Kurasa begitu lucu.
“Sebentar Dek, sepertinya obrolanmu semakin jauh dari hal-hal yang bersangkutan dengan pengaosan kemarin pagi, apa hubungannya cerita Gus Hasan pada Neng Nisa tentang aku dengan penemuanmu yang bersangkutan dengan pengaosan kemarin subuh?”
Gadis di depanku ini malah cengar-cengir.
“hehe, ya itu Mbak. Kan biasa ya, pengasuh pesantren itu bercerita tentang santri-santrinya. Nah setelah Neng Nisa cerita tentang beberapa Mbak-mbak yang ada di pondok ini, pembicaraannya sudah mulai mendekati fakta penting ini Mbak”
Aku sudah benar-benar dibuat jengkel oleh bocah ini, kusandarkan tubuhku ke tembok, melepas mukenah dan melipatnya sambil mendengar ocehannya.
“Jadi puncaknya Mbak, cerita Neng Nisa yang sampai membuat tempeku gosong karena tidak percaya adalah bahwa Gus Hasan, Gus kita yang memimpin pengaosan Kitab Tafsir al-Jalalain, yang memimpin segerombolan laki-laki bersarung yang menertawakan perempuan kemarin subuh adalah sosok laki-laki yang ternyata mengagumi seorang perempuan.” Aku menegakkan dudukku, mulai tertarik dengan celotehan bocah ini. Tahu aku berantusias, eh dia malah mulai lebai, mengatur mimik muka dan gaya bicaranya.
“Dan perempuan itu adalah sosok perempuan yang begitu istimewa, pintarnya wah, cerdasnya wah, lebih wah dari laki-laki se PonPes  Daar at-Tawassuth ini. Dia memiliki ke-wah-wahan yang tidak dimiliki satu laki-laki pun di PonPes ini, ini membuktikan bahwa perempuan itu tidak lebih rendah dari laki-laki tentang keintelektualan, pengaruhnya dan lain-lainnya juga Mbak. hidup perempuan!!. Dia adalah....”
Serasa tahu aku begitu penasaran, bocah ini malah diam dan memamerkan gigi gingsulnya. Aku memelototinya.
“hehe,, dia adalah.... Neng Aminah Mbak..”
“Ye....” kami berdua bersorak senang.
H^_+N
Cerita gadis ini cukup menjadi bekal bagiku untuk tidak menelan mentah-mentah keterangan subuh itu. Bukannya meragukan Kitab suci Tuhan yang begitu aku agungkan, namun aku curiga, entah sengaja atau tidak, ada sedikit yang tidak beres dengan semua yang pernah aku dengar ini. Besok aku berniat tuk sowan ke K. Mahmud yang masyhur dengan Tafsir al-Lughowinya.  

                                                                                                            Hibat Nahwa


Tidak ada komentar: