Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Senin, 26 Maret 2012

PERSENGKETAAN DI RUMAH TUHAN

PERSENGKETAAN DI RUMAH TUHAN
                Senja memang indah bagi siapa saja yang melihat, merenungi  dan menikmati suasananya. Eyangku, ibuku, dan aku sama-sama mencintai senja. Ketika senja hadir, cinta dan kedamaian berputar-putar mengelilinginya. Seperti senja kali ini, di bawah bukit yang tauh jauh dari langgar desa kami aku begitu bahagia. Berputar-putar dengan teman -teman, berpegangan tangan sambil menyanyikan lagu kesukaan kami, pelangi.
Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah-kuning-hijau di langit yang biru
Pelukismu Agung siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.
Kami menyanyikannya berulang-ulang. Berpegangan tangan erat, bernyanyi bersama, berputar-putar bersama, dan tertawa bersama, begitu bahagia. Aku begitu bahagia, kudongakkan wajahku menghadap lagit sore yang menyajikan warna emasnya. Masih berputar-putar sambil menatap langit, aku terperanjat. Pandanganku melihat suatu yang indah di langit meski tampak aneh dan janggal. Aku melepaskan tangan dan keluar dari lingkaran permainan. Berlari menuju bukit untuk melihat lebih jelas lagi yang kulihat di langit. Indah sekali. Di bukit dekat langgar ini, suara nyanyian teman-teman masih terdengar sayup-sayup;
Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah-kuning-hijau di langit yang biru
Pelukismu Agung siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.
Subhanallah. Benar, itu pelangi. Berada tepat di atas langgar. Tak ada hujan, tak juga mendung. Padahal, kata Bu Guru pelangi itu muncul setelah hujan. Itu tidak benar. Buktinya sekarang aku sedang melihat pelangi di senja yang indah, tepat berada di atas langgar. Indah sekali. Merah, kuning, hijau, biru, ungu, jingga, nila dan ada warna-warna lainnya. Indah, berlapis lapis. Sayup-sayup terdengar lagi nyanyian teman-temanku;
Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah-kuning-hijau di langit yang biru
Pelukismu Agung siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.
Mataku berbinar-binar senang. Oh indahnya. Warnanya berlapis-lapis. Warna satunya lengket pada warna yang lainnya. Semuanya seperti itu, lengket. Kenapa bisa berlapis-lapis? Kenapa setiap warna lengket pada warna lainnya ya? Atau jangan warna-warna itu punya tangan sepertiku dan teman-temanku sehingga pelanginya juga saling berpeganga tangan begitu erat. Oh.... indahnya. Aku sedikit sebal dan memonyongkan bibir saat kulihat ada warna hijau tua dan merah berada di antara lapisan pelangi itu. Kulihat lagi. Kenapa lain? Bukankah hijau dan merah biasanya jelek, kenapa terlihat indah?. Apa mendapat pantulan indah dari warna yang lain ya? Sedikit kusipitkan mata. Oho.... aku tahu mungkin diantara kedua warna itu, oh tidak, di antara semua warna ada warna lain yang membikinnya indah. Putih. Aku suka putih.
Kulihat pelangi itu bergoyang-goyang. Meliuk-liuk. Aku kecewa, jangan-jangan pelanginya mau pulang karena sudah malam. Mataku membelalak saat pelangi itu mulai melayang-layang, turun kebawah mendekatiku. Berputar-putar disekelilingku. Memutari tubuhku. Aku melompat-lompat kegirangan. “Bagus-bagus, indah-indah”. Bajuku berganti-ganti warna. Berkerlip-kerlip indah. Aku tertawa girang. Melompat-lompat. Berputar-putar- Menari-nari.
Pelanginya kembali melayang-layang. Aku mengejarnya sambil masih tertawa riang. Tapi pelanginya terbang tinggi, aku kecewa. Pelangi itu masuk di antara awan. Aku duduk di rerumputan sekitar langgar karena lelah. Kupandangi terus langit sambil berkata, “pelangi”. Akhirnya kurebahkan tubuhku di rerumputan ini sambil masih memandang ke atas. “Pelangi!” teriakku. Pelangi iu muncul lagi melayang-layang meluncur ke arahku. Terbang lagi dan melayang pelan di samping jendela langgar. Kukejar dia. Kudekati dia sampai langgar.
Aku sudah berada di depan langgar, aku tersenyum pada pelangi itu tapi ia tak menghiraukanku. Hanya menoleh sesaat lantas melesat ke dalam langgar melewati kubahnya. Meski tampak sepi ternyata di langgar banyak orang. Posisi duduknya melingkar, di tengah-tengahnya bolong. Hihi, jadi teringat donat di pasar. Semuanya berkopyah dan berjilbab putih. Persis donat yang ditaburi tepung gula.hihi. Semuanya tampak bercakap-cakap, tapi aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Ada Ustad  Imron juga di sana, ustad ganteng yang mengajariku dan teman-temanku mengeja alif, ba’, ta’.
Itu dia pelanginya, melayang-layang di dekat corong tempat dimana biasanya Kak Rahman Adzan. Kuintip lewat jendela saja biar bisa kupanggil pelanginya. “Sst... pelangi”, kataku lirih. Pelangi itu tidak menhiraukanku. Dia berputar-putar di atas. Berputa-putar tepat di atas orang-orang sedang melingkar.
            Tiba-tiba datang angin kencang. Sangat kencang hingga aku harus berpegang erat pada bingkai kayu jendela ini. Daun-daun, rerumputan kering, dan sampah-sampah lainnya melayang-layang. Terbang di bawa kerasnya hembusan angin. Aku memejam melindungi mata. “Akh.......”, aku berteriak kencang saat awan hitam tiba-tiba datang, berhembus dari langit dan melintas tepat d atasku. Masuk ke dalam langgar melewati jendela; tempat aku mengintip dan memanggil pelangi. Baju putihku jadi kotor di sana-sini. Awan hitam itu melayang-layang juga seperti pelangi itu. Tapi aneh, kenapa mereka semua;para ustad-ustadzah, kiai-bu nyai, pak RT, pak RW, dan beberapa orang lagi yang tak kukenal diam saja. Tak merasa teganggu dengan keriuhan yang ditimbulkan awan hitam itu bahkan nyaris merasa tak ada apa-apa.
Awan hitam itu masih saja berputar-putar kencang. Pelangi itu melayang rendah dan berlindung di atas mimbar. Orang-orang yang tadinya bercakap-cakap tenang sepertinya menjadi tegang. Aku takut melihat mbah Sidron mengacung-ngacungkan tangannya ke atas dengan muka memerah. Lek Kucrit malah menggebrak-gebrakkan tangannya ke lantai sambil mendelik ke arah mbah Sidron. Selanjutnya, semua orang marah. Semua orang saling meneriaki sambil menunjuk-nunjuk ke arah Alquran. Aku mual dan takut melihatnya. Ternyata orang tua juga bisa bertengkar. Padahal emak selalu bilang padaku tidak boleh bertengkar dengan teman,“Siti harus sayang pada semuanya, Siti harus baik pada semuanya agar semua sayang juga kepada Siti termasuk Allah,”.
Tiba-tiba awan hitam itu melesat lebih cepat. Berputar-putar hebat hingga barang-barang di dalam musholla berantakan. Pelangi itu meringkuk ketakutan di pojok. “Jangan!”, aku berteriak lantang saat pelangi itu diseret kasar awan hitam. Ditariknya melayang-layang di antara orang-orang yang bertengkat hebat itu. Aku menangis, “jangan....”. Pelangi itu meleleh, warnanya tercerai berai dan lelehannya menjatuhi orang-orang di bawahnya. Sehingga jilbab dan peci yang semuany berwarna putih menjadi berganti warna. Segerombolan berwarna merah, segerombolan berwarna hijau, segerombolan lainnya berwarna biru, segerombolan lagi berwarna abu-abu. Tapi mereka tetap saja bertengkar bahkan semakin dahsyat. Sepertinya tak ada satu pun di antara mereka yang tahu bahwa jilbab dan pecinya telah berganti warna.
            Aku terkejut saat tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundakku dari belakang. “Kak Rahman?”. “Sedang apa? Teman-temanmu sudah menuju ke sini. Cepat ambil wudlu dam masuk ke dalam. Kak Rahman adzan dulu”. “I...iya, Kak”.
            Kak Rahman melenggang santai melewati perseteruan di dalam langgar. Aku membuntutinya. Adzan berkumandang. Cahaya senja memantul-mantul ke dalam langgar berganti sinar kemerah-merahan yang begitu ramah. Sesaat perseteruan itu berhenti. Semuanya menundukkan kedirian, khidmat pada lantunannya.
“Allahuakbar-Allahuakbar. Laa ilaaha illallah....”
Kak Rahman Mundur. Mbah Sidron yang sekujur tubuhnya sudah berganti  warna maju menuju mimbar, seperti biasa Mbah Sidron mau ngimami. Tidak seperti biasanya, Lek Kucrit yang pecinya berwarna beda dari mbah Sidron berupaya mencegah dan mempersilahkan mbah Muki yang peciny sewarna dengannya untuk menjadi imam. Mbah-mbah dan ustad-ustad yang memakai peci berwarna lain juga seperti itu. Perseteruan akhirnya tak bisa dihindari lagi. Kembali berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk Alquran.
            Kak Rahman mundur dan mendekatiku. “Berdiri di belakangku Nduk, kita sholat jamaah ya”. Aku mengangguk saja dan mengikuti perintahnya. Kak Rahman mulai bertakbir aku masih bingung dan tak mengerti atas semuanya. Kenapa Kak Rahman diam saja, atau jangan-jangan dia tak melihat orang-orang itu? Ah,,, aku tak mengerti sikap orang besar, lebih enak jadi anak-anak saja. Hendak memulai takbir, sayup-sayup kudengar suara teman-temanku yang masih berdendang. Aku menoleh ke belakang. Teman-temanku datang memakai mukenah dan peci putih yang bersinar. Sinarnya menyeruak memenuhi langgar, mengusir awan hitam tyang masih melayang-layang. Mereka berpegangan tangan begitu erat dengan senyum ceria sambil bernyanyi lirih;
Pelangi-pelangi alangkah indahmu
Merah-kuning-hijau di langit yang biru
Pelukismu Agung siapa gerangan
Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.
Yogyakarta, 28 Januari 2011
Halimah Garnasih
Ex. Takmir Lab. Agama Masjid Sunan kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar: