Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Selasa, 10 April 2012

LAELA DAN BIJI SALAK



LAELA DAN BIJI SALAK

Gadis manis bertahi lalat di dagu itu berhasil memisahkan diri dari rombongannya; para gadis yang membalut tubuhnya dengan sarung, rapih. Menutup bagian tubuh lainnya dengan kaos panjang yang warnanya senada dengan kerudungnya , menyembunyikan mahkota kepalanya hingga menjuntai menutup dada. Mereka bersama hendak menuju makom[1], mengaji.
Laela berhenti dari lari-lari kecilnya setelah teman-temannya jauh dari pandang matanya. Berbelok dan beristirahat di belakang tembok jalan merupakan tempat yang aman dan nyaman tuk melepas nafas yang terengah-terengah. Kakinya terasa pegal setelah beberapa menit dibawanya berlari-lari kecil di atas sandal kayunya. Dia mengganti posisi Alquran ke dekapan tangan kirinya karena tangan kanannya sekarang harus melambai memberhentikan andong. Wajahnya yang manis semakin manis ketika dia tersenyum, duduk dan berangkat menuju pesisir pantai bersama andong itu.
Senja pesisir pantai menyambut kedatangan Laela. Dia turun dari andong dengan berhati-hati. Ketika ia menunduk, kakek pembawa andong memperhatikannya, melihat kerudung putihnya menjadi kuning kemerah-merahan disentuh matahari senja. Laela memberi upah, mengucap salam dan berbalik arah mendekati gigir pantai.
Sinar matahari mencipta air laut terlihat beriak-riak, berkerlip-kerlip indah. Merekah senyum Laela saat buih-buih air laut mencumbui jemari kakinya. Dekapan pada kitab suci yang begitu diagungkannya semakin erat. Matanya menatap jauh, jauh ke depan hingga seolah-olah laut berujung dan ujungnya yang terhampar panjang bersentuhan dengan langit.   

Di tengah  bentangan laut yang mahaluas, di atas perahu kayu, hanya seorang  lelaki tua pendiam pemilik perahu itu yang menemaninya. Hening rasa hidupnya kini. Desiran angin laut yang lembut sengaja membuat suasana semakin indah. Dibukanya Alquran berbalutkan kain bercorak emas. Disusurinya suroh per suroh dan berhenti pada tulisan “Suroh Maryam”, dan ia begitu mentadabburi[2] ketika sampai pada ayat 19-21.
19. Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci."
20. Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"
21. Jibril berkata: "Demikianlah." Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan."

********

Senja kali ini tak sehening dan seindah senja sembilan bulan yang lalu, saat gadis suci merunduk mentadabburi kalimat Ilahi. Di pelataran  pesantren Assalafiyah sedang gaduh, cacian dan makian berhamburan  dari keluarga besar Kiai Abbas yang masyhur dengan karomahnya, kepada seorang perempuan suci. Yang dicaci dan dimaki hanya menunduk diam dengan menahan isak tangis yang amat pedih. Para santri yang lalu-lalang pun akhirnya serentak berhenti, heran dengan apa yang tengah mereka saksikan.
“Kau mengatakan tidak pernah tidur dengan Sodiq, tapi kau mengatakan kalau bayi haram ini anaknya!! Hah,, bodoh sekali!! Tak masuk diakal!” Seorang perempuan berbadan melar terbalut gamis membentak. Laela hanya menunduk menahan sakit. Dua kakak perempuan laki-laki yang dituduh ayah bayi itu pun ikut melakukan hal yang sama pada Laela.
Kiai Abbas beserta istrinya masih terdiam menyaksikan semuanya yang terjadi dengan tiba-tiba. Nyai Romlah meremas tangan dan menatap suaminya, Kiai Abbas, seolah meminta untuk segera melakukan sesuatu. Suaminya memandangnya sebentar dan kembali menatap Laela yang tengah duduk tertunduk, dihakimi putri-putrinya. Nyai Romlah tidak tahan berlama-lama menyaksikan pertunjukan ini, malu karena para santri sudah mulai bergerombol memenuhi pelataran demi menyaksikan pemandangan langka ini. Dia meyibak tiga putrinya dan merundukkan diri mengangkat wajah Laela yang penuh dengan air mata. Di sana ia menemukan sepasang mata yang jujur. “tak mungkin gadis ini berbohong”batinnya. Seorang santri yang dulu masyhur dengan kesalafannya. Tapi di sisi lain dia tak percaya jika putranya, Sodik, yang dikenalnya seorang anak yang berbakti pada orang tua dan keagamaannya mumpuni melakukan perbuatan hina.
Nyai Romlah meraih tangan Laela memintanya berdiri. Dia membawa perempuan dan bayinya itu mendekati Kiai Abbas. Sekilas Nyai Romlah melihat bayi mungil itu, namun ia tak berani lagi memandangnya karena dua mata itu sama persis dengan mata bayi laki-lakinya dulu, Sodik. 
Laela langsung duduk berlutut setelah sampai di hadapan Kiai Abbas, orang yang teramat dihormatinya sebagai guru dan tokoh masyarakat yang disegani. Suasana yang tadinya riuh tiba-tiba menjadi tenang.
“Nduk,, jawab pertanyaan abah. Bayi siapa itu?”
“Bayi saya dan Gus Sodiq yang  berarti cucu Panjenengan” jawabnya dengan masih tertunduk dan semakin erat memeluk bayinya.
“Sejak kapan kamu berhubungan dengan Sodiq?”
“Kami tidak pernah bertemu apalagi untuk menjalin sebuah hubungan” Jawab Laela mantap.
K. Abbas mengerutkan dahi namun tersenyum. Terdengar bisik-bisik para santri bergemuruh. Ketiga kakak perempuan Sodiq memandang benci, sedang Nyai Romlah tetap terdiam, bingung dan makin tak mengerti.
“Lantas, kenapa kamu mengatakan  bayi ini adalah bayi putraku?”
Laela terdiam.
“Hah… sudahlah Bah, perempuan  kotor ini hanya ingin mengaku-ngaku saja karena pasti dia telah ditinggal para lelakinya!!!” putri keduanya beringsut dengan suara lantang. Kakaknya pun kini ikut merangsek ke depan “Desa Kubah Hijau ini telah terkotori oleh pelacur murahan ini! Bakar saja dia beserta bayinya!”
Gemuruh suara meng-iyakan terdengar dari para santri yang tidak senang dan dulunya iri pada Laela, seorang santri yang selalu diperbincangkan para santri putra karena kecerdasan dan keanggunannya. Nyai Romlah beserta suaminya terkejut dengan semua itu.

Kayu-kayu sudah tertumpuk di halaman  rumah Kiai Abbas. Tak ada rasa gentar sedikit pun pada diri Laela, karena dia tahu Tuhan Maha Tahu atas segalanya. Dia berdiri kokoh di tengah halaman di depan kayu-kayu yang dipersiapkan untuk melahap habis tubuhnya. Diciumnya kening bayinya, gamisnya melambai diterpa angin. Dia mendongak menatap kayu-kayu bakar, bertasbih dan bertakbir dengan suara lirih dan penuh kepasrahan.
Minyak gas menghujani kayu-kayu pesakitan, dan satu lemparan percikan api menyala dan berkobar-kobar mengganas. Laela yang berada beberapa depah saja di hadapannya merasakan udara panas dan keringat mengalir membanjiri tubuh di balik gamisnya. Namun tiba-tiba jiwanya menyejuk bagaikan tanah di pagi hari yang mendapat tetesan bening embun subuh demi mendengar suara Nyai Maryamah ibunda Kiai Abbas yang berarti Nyai Sepuh di desa Kubah Hijau.
Nyai Maryamah bagaikan Imam pada sholat jama’ah.Tak kan ada kata yang berani melebihi kata-katanya dan tak akan ada gerak yang melebihi geraknya. Seorang manusia yang menggunakan huruf-huruf dan bahasa Tuhan hanya untuk dan menuju pesannNya yang tersirat dalam kitab Agung Tuhan.  
“Ada apa ini Abbas?”
“Hatur pengapunten Ummi, keributan ini bukan merupakan bagian kesengajaan Abbas. Maryam, perempuan itu mengaku telah melahirkan bayi Sodiq”
Kening Nyai Maryamah mengernyit sebentar namun ada senyum di balik bibirnya, karena dia tahu cucunya yang satu itu tidak diketahui rimbanya,tidak jelas keberadaannya dan apa mungkinkah hal itu terjadi?.Cucunya yang ia ketahui sebagai seorang manusia yang memiliki keistimewaan menurut mereka pada umumnya. Seperti yang pernah Nyai Maryamah ketahui sendiri ketika dia berkunjung ke rumah Tuhan di tanah suci, dia bertemu Sodiq yang melambai-lambai dan cengengesan padanya, ”Mau numpang sholat di sini juga Mbah Nyai”namun ketika selesai sholat dia menghubungi dan menanyakan keadaan keluarga di desa Kubah Hijau, K. Abbas mengaku baik-baik saja dan sedang bersama Nyai Romlah, Sodiq dan putri-putrinya.Hal yang membuat Nyai Maryamah tercengang, karena tidak hanya sekali dia menemukan keganjilan pada cucunya itu.
     Nyai Maryamah melangkahkan kaki mendekati perempuan beserta bayinya itu. Laela diam menunduk. Suasana halaman pesantren yang begitu luas menjadi tegang terbawa sikap Ny. Maryamah. Pandangan beliau mengitari segala penjuru yang dipenuhi para santri dan kayu yang masih menyala-berkobar.
Setiap jiwa tersentak ketika Ny. Maryamah berteriak tak terkecuali laela  yang berada di sampingnya. “Shodiq! Keluar kamu! Mbah Nyai tahu kau ada di sini dan melihat semuanya”. Angin berdesir membawa tanah beterbangan, menari-nari. “Jika kamu masih tidak mau keluar, berarti kamu setuju dengan apapun keputusan Mbah dengan gadis dan bayi yang diakui adalah anakmu!. “Suasana masih hening, tak ada yang bersuara selain angin yang masih bermain-main dengan tanah dan beberapa helai dedaunan.
     Ny. Maryamah kembali memandang sekitar dan mengambil bayi kecil itu dari gendongan Laela. Laela memberikan dengan cemas dan ragu. Ny. Maryamah mengangkat bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya dan kembali bersuara lantang. “Baiklah Sodiq! Ternyata kamu memang setuju dengan apapun keputusan Mbah”. “Lihatlah  Sodiq, dan kalian semua yang menjadi saksi”. Ungkapan Ny. Maryamah dengan berputar di antara putaran halaman yang disesaki ribuan manusia. “Aku akan membakar bayi ini, dan hanya bayi yang terbalut kebenaran ucapan ibunya yang akan diselamatkan Allah. Jika ternyata memang bayi ini bukan bayi Sodiq, maka bersiap-siaplah wahai Perempuan untuk kehilangan bayimu”. Gertak Ny. Maryamah di depan wajah Laela. Laela terperanjat, tubuhnya bergetar hingga kakinya terasa lemas. Dia menggenggam tangannya sendiri untuk menguatkan diri, namun bulu matanya sudah basah, air mata meleleh  sampai ke danau pipinya.
Ny. Maryamah mulai mengangkat kembali bayi Laela di samping kobaran api yang semakin mengganas. Laela terbelalak dan suasana menjadi agak riuh. Ny. Maryamah tampak tidak sedang main-main. Dia berteriak memandang langit. “Ya Allah,,, Kau adalah saksi yang paling adil dan Kau adalah hakim yang paling bijaksana ketika seorang insan sepertiku sudah mulai lemah”. Dia kembali menjerit dengan melafalkan syahadat tiga kali dan tanpa ragu melemparkan bayi tak berdosa itu ke tengah-tengah lahapan api yang lapar. Ketika lemparan sadis itu, banyak santri-santri yang menjerit , bertakbir, bertahlil dan bahkan ada yang pingsan. Sedang laela hanya bisa memejamkan mata ketika bayi yang dicintanya sampai ke mulut api, tubuhnya lunglai, lututnya menyentuh tanah, genggaman tangannya pun penuh dengan tanah. Dia bersujud dengan deraian air mata yang begitu deras, namun tak ada suara keluar dari mulutnya, tubuhnya bergetar hebat.
     Agak lama, suasana kembali hening, Ny. Maryamah tertunduk seperti menyesal atas apa yang telah dilakukannya. Dia melangkah hendak meninggalkan halaman bersejarah itu, namun langkahnya tertahan ketika mendengar suara menghentikannya. “Tunggu Mbah Nyai!”Ny. maryamah menoleh. Tanpa disadari semuanya, sosok yang menyebabkan terbakarnya bayi itu tiba-tiba berdiri di samping Laela yang masih bersujud-menangis. Langkah Ny. Maryamah terhenti, Laela bangkit dari sujudnya, duduk beralaskan tanah dan air mata.
     Sosok itu begitu bersahaja, wajahnya bersinar, benar, dia adalah Sodiq putra K. Abbas yang berkaromah. Kini, Sodiq dan Ny. Maryamah berhadap-hadapan. Sebelum berbicara, ia masih menoleh pada Laela yang duduk lemas di sampingya. Laela sudah tak memiliki tenaga, dia hanya bisa berkata tentang mendung hatinyalewat titik-titik bening yang menghias bulu matanya, sisa tangisannya.
“Mbah Nyai mau ke mana?, apakah Mbah Nyai tak ingin mengetahui jawaban Allah?”Sodiq berkata, dan setiap katanya tak lepas dari uraian senyum.
“Kenapa harus menunggu jawaban Allah jika kau sudah berada tepat di depan mata mbah dan sekian banyak manusia?, katakan Sodiq bahwa kamu tidak pernah melanggar larangan Allah!”
Sodiq masih tersenyum dan menatap Mbahnya dengan kasih, menoleh pada Laela yang lemah. “Berdiri laela, berdiri dan kita berdua akan menjawab pertanyaan ini”. Laela berdiri dengan lemah, keduanya berdiri berdampingan. “Tak usah takut, tak usah gentar, jawab saja pertanyaanku dengan jujur”. Laela hanya mengangguk mendengar papahan Sodiq.
“Adakah laki-laki yang menyentuhmu?”.
“Demi Tuhan yang Maha Suci, aku selalu menjaga kesucianku”
“Kau masih perawan?”
“Bagaimana kau tanyakan itu, jika Yang Suci selalu bergelayut dalam hati?”
“Bayi siapa itu?”
“Bayi kita, Gus”
“Dari mana kau yakin itu bayi kita?”
“Bukankah kau menitipkan sebuah biji salak padaku dalam mimpi? Untuk kujaga, kupelihara?. Aku terima biji salak itu karena Tuhan pun berpesan untuk itu.Apa kau akan mengelak? Menganggapku gila dan mengada-ngada  seperti mereka?”
Ucapan Laela terdengar seperti igauan tak jelas di ruang dengar banyak orang, matanya kembali berkaca-kaca. Sodiq hanya menunduk, tak ada yang tahu, dalam tunduknya dia bertasbih dan beruarai air mata mendengar ucapan gadis suci di sampingnya.
Menyaksikan itu, semua orang semakin bingung, logika tak menjamah. Dalam keadaan yang hening itu, tiba-tiba terdengar jerit bayi dari tumpukan kayu yang apinya tiba-tiba padam. Tangan dan kaki bayi menggapai-gapai dengan tangisannya yang membahana. Sontak laela dan Sodiq berlari dan berlutut di depan tumpukan kayu bakar yang menggendong bayi mereka yang lucu . Bayi itu tiba-tiba pun berhenti menangis, tergelak. Laela dan Sodiq saling menoleh dan tersenyum, bertasbih, bertakbir. Setiap orang bertakbir, semua orang bertakbir dan pelataran pondok Pesantren Assalafiyah bertakbir, membahana.
                            Allaahu Akbar    
Di antara riuhnya sholawat,
20 Februari ’11,
Hibat Nahwa.
                                             

      






















[1]  Kuburan para Kiai/Ulama

Tidak ada komentar: