Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Minggu, 15 April 2012

PEREMPUAN DAN SASTRA


PEREMPUAN DAN SASTRA
Oleh:
Halimah Garnasih

Jika menilik sejarah sastra di Indonesia, ada beberapa periodeisasi karya sastra yaitu angkatan Pujangga Lama, angkatan Sastra Melayu Lama, angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, angkatan 1966 - 1970-an, angkatan 1980 - 1990-an, angkatan Reformasi dan angkatan 2000-an. Dari angkatan pertama sampai akhir 1980-an hampir seluruh penulis adalah laki-laki. Entah apakah benar belum ada penulis perempuan atau Indonesia pada saat itu masih mempermasalahkan munculnya perempuan ke permukaan.
Hasil penelitian Tineke Halwig dalam bukunya Shadow of Change adalah bahwa karya sastra sebelum zaman perang hingaa tahun 80-an mengangkat citra perempuan dari beberapa sudut pandang terutama sudut pandang sosiologi. Selain itu, Tineke Helwig juga menemukan bahwa penggambaran perempuan masih berkutat di dunia domestik.
Tidak jauh dari hasil penelitian Tineke Helwig, hasil penelitian Sugihastuti seorang pengajar Universitas Gajah Mada dalam bukunya Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty  menemukan bahwa penggambaran wanita juga masih berkutat dari segi psikis, fisik, lingkungan keluarga dan hirarki social.
Ternyata, di atas kertas pun yakni dalam dunia sastra, perempuan memiliki sejarah kelam. Perempuan adalah objek. Objek karangan. objek penggambaran. Yang ditulis oleh laki-laki dengan penggambaran yang penuh dengan berbagai kebiasan; perempuan bodoh, miskin, lemah, dst. Di atas kertas itu pula perempuan menjadi benda, menjadi barang. Seperti tokoh Siti Nurbaya yang dibendakan oleh orang tuanya saat ia dinikahkan dengan Datuk Maringgi, pria yang sudah berbau tanah itu, sebagai ganti menebus hutang-hutang orang tuanya. Perempuan digambarkan sebagai tokoh yang berada dalam posisi begitu lemah, yang hanya bisa diam saat menjadi  'korban' kepentingan. Kepentingan adat, orang tua, dan nafsu lelaki. Tokoh Siti Nurbaya seperti  tidak punya eksistensi padahal baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama makhluk otonom yang berhak menentukan atas kediriannya. Selain itu yang kini kembali marak diperbincangkan di dunia akademisi salah-satu jurusan di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya adalah tokoh perempuan bernama Dasima. Nyai Dasima yang memiliki kelas lebih tinggi dari pribumi karena ke-nyaian-nya malah menemukan berbagai kekerasan di rumah William, baik fisik maupun psikis. Setelah lepas dari William, Dasima terperosok di pelukan Samiun yang juga telah beristri. Siksaan fisik dan psikis semakin menjadi-jadi di kehidupannya yang ini karena Samiun adalah juga lelaki yang telah beristri. Istri Samiun yang secara otomatis juga menjadi korban budaya patriarkhis. Dalam novel ini hampir semua tokoh perempuan diselimuti kekerasan, tekanan dan terjengkang-jengkang berjatuhan menjadi korban satu per satu. Sampai pada sosok Kartini yang dalam surat-suratnya membawa semangat emansipatoris, tetap saja dia hidup di balik bayang-bayang  budaya yang patriarkhis. Menikah di luar kemauannya dan meninggal saat melahirkan. Bagaimana logika kita membaca betapa kuatnya budaya patriarkhis pada kala itu, hingga perempuan yang sudah sadar kesetaraan masih saja terperosok. Setidaknya, Kartini telah menyemai benih-benih kesadaran sejak itu.
Menjelang tahun  2000-an kesusastraan di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Yang pada mulanya perempuan hanya menjadi objek representasi laki-laki dengan segala penggambaran yang dilumuri kebiasan, perempuan mulai bangkit. Sudah saatnya perempuan menulis tentang dirinya sendiri yang dirasakannya, tentang laki-laki, tentang hubungannya dengan perempuan, dan tentang hubungannya dengan  laki-laki, tentang dan dengan perspektifnya sendiri. Mulai dari semangat kesetaraan, pembebasan, sampai yang dianggap mendobrak tabu.
Beberapa karya perempuan yang dibuat geger dan dan sangat heboh pada saat itu di antaranya adalah novel 'Saman'  karya Ayu Utami yang memenangi sayembara roman kesenian Jakarta tahun 1998. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag.
Katrin Bandel seorang peneliti sastra dari Jerman dalam bukunya Sastra, Perempuan, Seks, mengatakan bahwa kehebohan itu karena kalimat terakhir dalam Samannya Ayu Utami yang begitu provokatif yaitu "Perkosalah aku". Menurutnya, hal itu menjadi buah bibir dan membuat geger karena keterbukaannya dan pendobrakannya . Keterbukaannya dalam hal seksualitas. St Sunardi, Ketua Program pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam pengantarnya di buku tersebut mengatakan bahwa masalah seks harus dibahas dalam konteks yang lebih luas karena seks tidak hanya sekadar artian genital melainkan juga gairah hidup, libido, dan eros. Menurutnya pula, seks yang merupakan gairah hidup adalah selalu dan senantiasa mencari bentuk-bentuknya yang sesuai. Dia juga menuliskan jika sastra harus berani bicara tentang seks secara bebas dan kreatif, jika tidak maka karya sastra akan menjadi miskin.  Yang perlu diperhatikan dan menjadi urgen bukan masalah 'bebasnya' tapi 'berhasil-tidaknya' sastra itu sendiri mendapatkan bentuknya yaitu bisa bicara sebebas-bebasnya.
Pada era itu karya-karya semacam karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu banyak menuai kontroversi.  Agus Sulton dalam artikelnya yang dimuat di Kompas tanggal 01 April 2010 mengatakan bahwa  karya-karya sastra wangi itu tak lain hanyalah karya sastra aroma selangkangan yang berkedok feminisme. Tidak seperti karya sastra sebelumnya yaitu karya sastra Nh Dini, Dayu Oka Rusmini, Ratna Indraswari Ibrahim, dll yang  menyuarakan gender atau parsial-parsial ideologi paradigma-feminisme. Dalam pengantarnya, seolah kalimat Katrin Bandel menolak tuduhan itu. Jika kehadiran sastra wangi dituduh sebagai pembaharuan yang melenceng dari semangat patriotnya tokoh-tokoh perempuan sebelumnya, jika karya sastra wangi hanya karya sastra aroma selangkangan yang berarti dianggap porno, Katrin Bandel mengilas balik cerita yang hidup di sekitar Nyai Ontosoroh, tokoh yang dibuat Pramoedya Ananta Toor dan Nyai Dasima adalah 'pornonya' jaman Kolonial.
Akhirnya, berkaitan dengan sastra dan perempuan kalimat penulis di bawah ini yang terilhami dari ungkapan  St. Sunardi semoga bisa menjadi lecut. Yaitu kepada seluruh gerakan perempuan atau feminisme di Indoinesia khususnya di UIN sunan Kalijaga, jangan berbangga diri sebelum memasuki wilayah sastra. Karena masalah diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan dehumanisasi perempuan bukan hanya masalah social dan hukum saja melainkan masalah kesadaran dan imajinasi,. Gerakan akan kosong jika tidak dilandasi kesadaran. Dan kesadaran pun tak ada guna tanpa action. Minimal dari diri sendiri.


Tidak ada komentar: