Selamat Datang

Selamat datang pada dunia kesunyian
Selamat mencicipi tiap sense kata
Selamat menikmati tiap tegukan makna
Selamat......

Minggu, 15 April 2012

Selayang Pandang Kedamaian di Bilik Yogyakarta


Selayang Pandang Kedamaian di Bilik Yogyakarta
Dalam sebuah media cetak dipaparkan bahwa ada beberapa  guru yang berasal dari Amerika Serikat membaca suatu realitas yang berlawanan dengan apa yang selama ini mereka dengar dan percaya, bahwa Islam itu keras, anarkis, teroris dan jauh dari damai. Banyak kesalahpahaman dan prasangka buruk masyarakat (khususnya di Negara Barat) terhadap Islam. Di sebuah pesantren yang mereka kunjungi tersemai dalam pandang mata sebuah suasana yang damai, tentram, indah, jauh dari kebencian dan kerusuhan. Hal yang membuat salah satu diantara mereka tertegun adalah ketika mengetahui para santri hidup di asrama kecil dengan kamar  sempit yang hanya diperuntukkan menyimpan pakaian dan buku. Dalam keadaan seperti itu, sebuah keadaan yang sangat jauh dengan suasana yang dirasakan murid-muridnya di sana, para santri tersebut tetap terlihat begitu senang, ceria dan gembira, tidak terlihat gurat berkeluh kesah. Bahkan untuk tidur ada beberapa yang tidak menggunakan tikar, makanan sederhana, belajar ilmu agama di lantai tanpa meja dan kursi. "Siswa-siswi di Amerika harus tahu ini dan harusnya mereka bersyukur terhadap apa yang telah dipunyai sekarang," tutur Grace.[1]
Lalu bagaimana pembacaan warga Indonesia khususnya penghuni pesantren sendiri (santri) mengenai kedamaian di pesantren?.
Penulis sempat mewawancarai dua santri Yogyakarta dari pesantren yang berbeda. Menurut santri Ponpes Wahid Hasyim, pesantren adalah miniatur negara yang di dalamnya terdapat berbagai macam jenjang pendidikan. Uniknya, perbedaan jenjang ini tidak menjadi sekat sosial. ” Malah perbedaan tingkatan itu menjadi suatu hal yang bisa saling melengkapi.” tuturnya. Pesantren masih melestarikan budaya guyubnya; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Realitas ini ia contohkan dengan kerja bakti kubro yang dilaksanakan hampir setiap minggu.”Satu lagi yang membuat saya terkagum pada pesantren ini. Ketika abah (panggilan pada Kiai) turun langsung ke jalan pada acara kerja bakti tanpa mengajak apalagi menyuruh  santri-santrinya, sontak para santripun langsung sama-sama ikut bekerjabakti di jalan.  Itulah indahnya pesantren.” Imbuhnya.
Sedangkan menurut salah satu santri yang tengah menjalani hidupnya di Ponpes Krapyak, pesantrennya merupakan potret masyarakat egaliterian. Adanya strukturalitas dalam kepengurusan, tidak lantas mencipta hirarkial sosial. Seragam kepengurusan pun tidak menjadi alasan mereka untuk tidak ikut serta dalam gotong royong. Seperti yang telah dilontarkannya “Mereka (baca: para pengurus) benar-benar lebur dalam hal apapun, semisal gotong royong. Pengurus dan semua santri terjun semua, serempak. Kita melakukannya bersama-sama.”
Dari uraian kedua santri di atas, terlihat penilaian positif pada pesantrennya masing-masing. Iklim yang damai dan tentram hadir di tengah-tengah nafas pesantren kediamannya. Mungkin bukanlah suatu hal yang merugi jika mencoba memetik pelajaran dari realitas yang ada. Dari pemaparan kedua santri di atas, bisa ditarik benang merah bahwa yang melatar belakangi terciptanya kedamaian di pesantren adalah: Terbangunnya kebersamaan baik dhohiriyah maupun batiniyah dan juga keegaliteran yang lahir dari pola kehidupan sehari-harinya. Suatu intensifitas pola kehidupan yang terkonstruk begitu bagus. Suatu keselarasan pengakuan dari dua orang santri yang berbeda pesantren. Keselarasan yang sifatnya kebetulan saja atau sebenarnya memang kebersamaan dan keegaliteran itulah yang merupakan salah satu pupuk penyubur kedamaian di pesantren-pesantren?. Selain itu, bisa diimplikasikan pula bahwa pupuk perdamaian itu juga berada dalam gayung pengurus-pengurusnya. Bagaimana kepandaian pengurus  menempatkan dan memainkan stuktural-kulturalnya hingga bisa bersemi indah di tiap-tiap hati rakyatnya (santri yang tidak berada di jajaran kepengurusan), apalagi tentang suatu hal yang sensitive konflik. Atau masih ada lagi diantara anda yang ingin menyumbang pengetahuan ataupun metodologi mengeni pupuk kedamaian di pesantren?, atau bahkan menunjukkan apa, siapa dan bagaimana diketemukan cacing beserta tanahnya yang merupakan signifikansi dalam pertumbuhan kedamaian di pesantren??.                                    
Di bawah gerusan vulkanik,  05 November ‘10                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         Hibat_Nahwa



[1] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/08/05.

Tidak ada komentar: